Sebelum mengambil putusan itu, indonesia dinilai harus melakukan pertimbangan dan kajian secara matang mengenai pembelian minyak mentah dari Rusia. Pasalnya, keputusan itu dianggap akan memberi dampak yang cukup besar di tengah situasi geopolitik dunia saat ini.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat dihubungi, Senin (12/9). Dia menilai, keputusan untuk membeli minyak dari Rusia tidak bisa dikatakan hanya berdasar pada kepentingan nasional.
“Kepentingan nasional itu memang harus didahulukan, tapi kepentingan nasional itu bukan hanya soal BBM, tapi juga ada kepentingan dari hubungan politik luar negeri, dan hal lain yang lebih substantif sebagai bahan pertimbangan kita dalam membuat keputusan membeli minyak dari Rusia,” tuturnya.
Fabby mengatakan, harga minyak Rusia yang disebut berada jauh di bawah harga pasaran memang terlihat cukup menguntungkan bagi Indonesia. Hanya, pemerintah didorong untuk melihat lebih mendetail mengenai arus distribusi dan keamanan minyak yang akan diimpor dari Rusia.
Pemerintah harus cermat menghitung berapa biaya angkut yang akan dikeluarkan saat mendatangkan minyak dari Rusia. Selain itu pengambil kebijakan juga perlu mengkalkulasi biaya pertanggungan yang bakal dikeluarkan bila kegiatan impor tersebut benar terjadi.
“Di Eropa dan AS itu sudah melarang perusahaan untuk mengangkut dan memberikan asuransi bagi minyak yang berasal dari Rusia. Ini perlu dipertimbangkan oleh Indonesia,” kata Fabby.
“Pertamina dalam hal ini, karena dia harus mencari perusahaan kapal yang mau mengangkut dan ini risikonya tinggi dan kalau pun ada asuransinya, itu mungkin akan besar, ini yang harus dihitung, risiko dan dampak ke harganya seperti apa,” tambahnya.
Bila biaya angkut dan asuransi yang mesti ditanggung lebih tinggi ketimbang dari harga pada umumnya, maka secara total, biaya yang dihemat untuk mendapatkan minyak dinilai tidak akan sebanding.
“Jadi kalau minyak murah, tapi biaya angkut dan insurance-nya tinggi, dampak penghematan itu tidak begitu besar. Lalu perlu diperhatikan pula bagaimana dampak relasi Indonesia terhadap negara G7, bisa jadi nanti dianggap Indonesia tidak solider. Menurut saya, kepentingan geopolitik ini harus dipertimbangkan, karena kita butuh juga dukungan dari negara-negara itu untuk isu lain,” jelas Fabby.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai Indonesia harus bisa memanfaatkan harga minyak mentah Rusia yang murah untuk menjaga pasokan dalam negeri. Menurutnya, hal itu akan berdampak baik bagi keberlanjutan pasokan minyak dalam negeri.
“Untungnya tentu kita punya pasokan minyak yang lebih murah, dan kita tidak hanya bergantung dari satu pihak, sehingga dalam konteks keberlanjutan ini bisa baik bagi Indonesia,” tuturnya.
Komaidi menambahkan, keputusan untuk membeli minyak mentah dari Rusia juga menurutnya mempertegas posisi Indonesia yang non-blok dan tidak memihak dalam situasi geopolitik saat ini. Justru, kata dia, bila minyak dari Rusia tidak dibeli, maka Indonesia secara tidak langsung telah menunjukkan keberpihakan pada satu pihak tertentu.
Pasalnya, kata Komaidi, sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat telah memboikot sekaligus melarang untuk membeli komoditas dari Rusia. “Kalau kita tidak beli, berarti kita kan sudah masuk bagian dari blok tertentu,” tuturnya.
“Tapi kalau membeli justru menurut saya menunjukkan kita tidak berpihak kepada siapa-siapa, asalkan bisnis dengan pihak lain tetap berjalan. Dalam arti, bila kita membeli minyak Rusia, tidak serta merta menghentikan hubungan bisnis dengan AS dan negara Eropa lainnya,” lanjut Komaidi.
Namun dia menilai, bila pun Indonesia memutuskan untuk membeli minyak dari Rusia, tidak serta merta harga BBM dalam negeri akan turun. Menurutnya, hal tersebut amat bergantung pada harga yang ditawarkan dan bagaimana kondisi nilai tukar rupiah.