Letargi Kebudayaan dan Perilaku Politik

Letargi Kebudayaan dan Perilaku Politik
Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan


banner 678x960

banner 400x400

Oleh: Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah “menanggalkan” sikap kenegawarannya demi mempertahankan “penerus” dan kebijakannya.

Bacaan Lainnya


Hajinews.id – ISTILAH letargi berasal dari kata lethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal hal yang esensial.

Dalam istilah kesehatan, letargi adalah kondisi ketika tubuh terasa sangat lelah dan tetap tidak membaik setelah beristirahat. Tak hanya lelah, seseorang yang mengalami letargi akan sulit beraktivitas karena sering mengantuk, lesu, dan sulit berkonsentrasi. Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan fisik maupun psikologis.

Rasa lelah yang berat atau letargi seringkali muncul sebagai salah satu tanda atau gejala penyakit tertentu. Berbeda dengan rasa lelah atau letih karena beraktivitas, letargi umumnya tidak hilang atau membaik meski penderitanya sudah tidur atau beristirahat.

Uniknya, sebagaimana diuangkap oleh Robertus Robet (2016), letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata aletheia yang dalam bahasan Yunani berarti kebenaran. Huruf a diawal kata a-letheia bermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran.

Kebenaran dengan demikian berkaitan dengan penolakan untuk melupakan (alethe). Dengan demikian, letargi dalam konteks tulisan ini_secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa “adanya”, apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita.

Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya. Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dengan apa yang sekadar bisa dari yang ada.

Itulah sebabnya, Schall menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya, para sejawaran menyebut letargi sebagai hal yang berbahaya, karena itu sinyal gejala runtuhnya peradaban.

Cawe-Cawe dan Letargi

Akhir-akhir ini viral tentang cawe-cawe Presiden Jokowi. Intinya yang paling banyak dikritik adalah betapa tak beretikanya Presiden dalam kaitan Pilpres 2024 mendatang. Presiden telah “menanggalkan” sikap kenegawarannya demi mempertahankan “penerus” dan kebijakannya.

Tentu ada banyak pertanyaan mengapa Presiden cawe-cawe demikian. Yang jelas dalam konteks letargi, presiden telah meninggalkan jejak kemubaziran tindakannya. Presiden Jokowi boleh dibilang telah gagal dalam mengusung standar etis dan begitu mudah jatuh ke dalam hipokrisi. Cawe-cawe bukanlah legacy yang dapat diteladani.

Teolog Amerika, James Vincent Schall berpandangan, letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan (politik) ketimbang persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan sosiolog tingkah laku. Dalam pandangan Schall, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *