Breaking News! Tanggapi Konflik Rempang-Galang, Raja Kesultanan Riau-Lingga Sampaikan Titah, Berikut Isinya



banner 678x960

banner 400x400

Hajinews.id — Upaya pengosongan lahan yang terjadi di Rempang dan Galang, Batam, Kepulauan Riau berujung ricuh.

Masyarakat Melayu dari sejumlah penjuru pun berdatangan ke Pulau Rempang.

Bacaan Lainnya


Mereka meneriakkan perlawanan atas upaya pemerintah yang dinilai ingin mengusir warga Pulau Rempang dari tanah kelahirannya.

Konflik yang terjadi ditanggapi serius Raja Kesultanan Riau-Lingga, Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh.

Titah itu tertulis dalam warkah berjudul ‘Menjunjung Adat Menjulang Daulat’ yang disampaikan Budayawan, Prof. Dr. Dato’ Abdul Malik, M.Pd.

Dalam titah yang diterbitkan di Pulau Penyengat Indera Sakti pada Selasa, (12/9/2023), Sultan Hendra Syafri Riayat menekankan lima hal terkait konflik Repang-Galang.

 

Keturunan Prajurit Kesultanan Melayu Bintan

Hal pertama adalah status masyarakat Rempang dan Galang.

Mereka ditegaskannya bukan pendatang.

Masyarakat Pulau Rempang yang kini mendiami kampung-kampung itu merupakan keturunan prajurit dari Kesultanan Melayu Bintan yang kemudian berganti menjadi Kesultanan Riau-Lingga yang sudah ada sejak abad 11.

Leluhur mereka dijelaskan Prof Abdul Malik merupakan prajurit yang sudah mendiami Pulau Rempang sejak masa Kesultanan Sulaiman Badrul Alam Syah I sejak tahun 1720.

Selanjutnya, mereka pun ikut berperang bersama Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782 hingga 1784.

Begitu juga dalam Perang Riau II bersama Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) pada tahun 1784 hingga 1787.

“Jadi mereka bukan pendatang, masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang itu adalah keturunan dari prajurit Kesultanan Melayu Bintan atau Kesultanan Riau-Lingga saat ini,” ungkap Prof Abdul Malik dihubungi pada Selasa (12/9/2023).

 

Tanah Pemberian Sultan-sultan Melayu

Hal kedua yang ditekankan Sultan Hendra Syafri Riayat adalah status tanah kampung-kampung mereka.

Kampung-kampung itu dijelaskan dalam titah merupakan pemberian Sultan-Sultan Melayu sejak berabad-abad lampau.

Tanah itu diberikan atas jasa para prajurit melawan penjajah Belanda.

Kampung-kampung itu diungkapkan Prof Abdul Malik merupakan basis pertahanan di Selat Kesultanan Melayu Bintan.

Ketika Sultan Mahmud Syah III berhasil memangkan pertempuran laut melawan VOC dan Belanda pada 13 Mei 1787, para prajurit yang berasal dari Kalimantan Utara, Johor, Malaka dan Sumatera itu menggabungkan kekuatan.

Mereka menjadikan ratusan pulau-pulau di Kepulauan Riau itu sebagai basis pertahanan.

Berdasarkan arsip sejarah Inggris, lanjutnya, dikisahkan ada sebanyak 8.000 prajurit yang berpatroli di lautan.

Sedangkan 20.000 lebih prajurit berpatroli di darat, di pulau-pulau seperti Rempang dan Galang.

Sedangkan 44.000 pasuka lebih menjaga Kesultanan Melayu Bintan.

“Jadi bagaimana mereka mau dipaksakan mengosongkan kampungnya, misalnya orang Betawi di Jakarta, mereka diusir keluar Jakarta, kemudian Jakarta diisi oleh orang asing seluruhnya, mana mau mereka, tak mungkin lah,” ungkap Prof  Abdul Malik.

Perjanjian dengan Pemerintah

Dalam titah selanjutnya, Sultan Hendra Syafri Riayat menekankan luasnya lahan di Pulau Rempang dan Galang.

Masyarakat Rempang dan Galang pun disampaikan sangat terbuka atas pembangunan.

Hal tersebut dibenarkan Prof Abdul Malik.

 

Dipaparkannya, masyarakat Rempang dan Galang katanya sudah terikat perjanjian dengan pemerintah ketika Pulau Rempang masuk ke wilayah Batam, Kepulauan Riau pada tahun 1999.

Ketika itu, pemerintah berjanji akan melibatkan masyarakat dalam pembangunan.

“Sebenarnya, Pulau Rempang ini sebelumnya masuk ke wilayah Kabupaten Bintan, tetapi di tahun 1999 Pulau Rempang dimasukan ke wilayah Batam karena memang jaraknya dekat dengan Batam,” ungkap Prof Abdul Malik.

“Lalu dalam perjanjiannya dengan masyarakat pada waktu itu kalau ada pembangunan di Rempang dan Galang, masyarakatnya tetap di situ berintegrasi dengan pembangunan itu, bukan dipindahkan. kok sekarang tiba-tiba akan dipindahkan?” tanyanya.

“Yang jadi pertanyaan kok invesrtornya mau pulaunya keseluruhan, tanah yang ada itu 17.000 hektar lebih kurang, penduduk yang sekarang bermukim itu tidak sampai 300 hektar. Ada 16.000 hektar lebih itu kosong,” tegasnya.

 

Bebaskan Warga Rempang dan Galang

Dalam poin keempat, Sultan Hendra Syafri Riayat dalam titahnya sangat menyesali peristiwa yang terjadi.

Sebab, konflik yang terjadi mencederai psikologis dan fisik masyarakat, khususnya anak-anak Rempang-Galang.

“Peristiwa ini melukai masyarakat, khususnya anak-anak. Bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis mereka,” jelas Prof Abdul Malik.

“Karena senyatanya pembangunan dan investasi itu tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya,” tambahnya.

 

Harapan Sultan Hendra Syafri Riayat

Atas peristiwa yang terjadi, Sultan Hendra Syafri Riayat berharap kejadian memilukan berupa ancaman, tekanan, penyiksaan, dan tindakan negatif lainnya terhadap rakyat Kepulauan Riau tidak kembali terjadi.

Alasannya Kontribusi Kesultanan Riau-Lingga atau Kepulauan Riau sangat besar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk mencederai hati-sanubari kami Bangsa Melayu di Tanah Tumpah Darah kami sendiri.

“Mereka sadar akan sejarah panjang, jauh sebelum bangsa ini merdeka maupun setelah bangsa ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ungkap Prof Abdul Malik.

“Nilai heroisme ini yang luar biasa, mengapa tidak kita hargai. Itu kan anak-anak veteran perang yang mepertahankan bangsa dan negara kita sehingga terwujud Indonesia,” bebernya.

Dirinya pun mempertanyakan banyak terkait rentetan peristiwa yang terjadi, termasuk soal pengosongan Pulau Rempang.

Pertanyaan itu muncul lantaran seluruh pulau dikosongkan dari pribumi untuk dibangun seluruhnya oleh pihak asing.

“Saya dalam kapasitas sebagai orang Indonesia, bukan sebagai pakar budaya jadi curiga, ini ada apa? Semuanya mau dimasukkan orang asing ini ada apa? kok nggak boleh ada orang pribumi di pulau itu? investasi seperti apa itu? Mau dijadikan apa?” tanya Prof Abdul Malik.

 

Berikut Warkah Titah dari Sultan Hendra Syafri Riayat Syah:

WARKAH TITAH

Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Perhimpunan Zuriat dan Kerabat Kesultanan Riau-Lingga telah memperhatikan secara seksama perkembangan dan keadaan masyarakat di Pulau Rempang-Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau akhir-akhir ini.

Perkembangan itu telah menimbulkan kemasygulan kita semua, mencederai masyarakat tempatan secara fisik dan psikologis, serta dipandang tak patut dalam tradisi, adat- istiadat, dan tamadun Melayu yang terala, khasnya berkenaan dengan pentadbiran negeri dan perlakuan terhadap rakyat sendiri.

Seyogianya, pembangunan mendatangkan kemakmuran negeri dan menyejahterakan rakyat seperti yang ditauladankan oleh Kesultanan Riau-Lingga pada masa lampau.

Berhubung dengan itu, Beta maklumkan warkah titah ini kepada semua pihak yang berkenaan.

1. Rakyat yang bermastautin di kampung-kampung tua Rempang-Galang dan sekitarnya merupakan keturunan prajurit ulung Kesultanan Melayu Bintan dan selanjutnya Kesultanan Riau-Lingga.

Nenek-moyang mereka, seperti halnya nenek-moyang semua orang Melayu Kepulauan Riau lainnya, sangat berjasa dalam membangun negeri ini dan melawan serta mengusir penjajah pada masa lampau.

 

2. Tak ada sesiapa pun, menurut adat-resam dan tamadun Melayu, yang boleh memaksa mereka untuk meninggalkan kampung halamannya, yang telah dianugerahkan oleh Sultan-Sultan Melayu sejak berabad-abad yang lampau.

Merekalah yang meneruskan, menjaga, dan memperjuangkan semangat kewiraan, pelestarian adat-istiadat, budaya, dan peradaban

Melayu di Rempang-Galang dan sekitarnya sampai setakat ini.

Oleh sebab itu, keberadaan mereka di kampung halaman mereka harus dipertahankan.

 

3. Adapun di tanah-tanah yang tiada berpenghuni di Rempang-Galang itu, yang sangat luas dibandingkan dengan lahan kampung yang ditempati penduduknya, silalah dilakukan pembangunan asal tak bertentangan dengan adat-resam Melayu, agama Islam, dan nilai-nilai keadilan untuk semua.

4. Diharapkan juga kearifan pihak yang berkenaan untuk membebaskan rakyat Melayu yang ditangkap dan ditahan oleh pihak keamanan karena mereka hanya ingin mempertahankan kampung halamannya ketika terjadi serangan tergempar ke kampung mereka pada Kamis, 7 September 2023 dan Senin, 11 September 2023.

Sesungguhnya, mereka bukanlah penjahat.

 

5. Semoga mulai hari ini tak terjadi lagi peristiwa yang memilukan berupa ancaman, tekanan, penyiksaan, dan tindakan negatif lainnya terhadap rakyat Kepulauan Riau atas nama investasi dan pembangunan.

Apatah lagi, sampai mengancam jiwa dan menimbulkan kengerian psikologis bagi anak-anak yang tak dibenarkan oleh bangsa beradab mana pun di dunia ini.

Kontribusi Kesultanan Riau-Lingga atau Kepulauan Riau sangat besar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk mencederai hati-sanubari kami Bangsa Melayu di Tanah Tumpah Darah kami sendiri.

“Menjunjung Adat Menjulang Daulat”

Pulau Penyengat Indera Sakti

Selasa, 27 Shafar 1445 H., 12 September 2023

 

Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah

ibni Tengku Husin Saleh

 

Paduka Perdana Dalam, Raja Dato’ Perdana Kamaruddin, S.E., M.M.

ibni Raja Abu Bakar

Duli Yang Dipertuan Muda,Raja Haji Supri, S.Sos., M.Si. ibni Raja
Yassin

 

Sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *