Merosotnya Demokrasi di Indonesia

banner 400x400

 

 

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Jakarta, Hajimews.id — Berbagai bentuk kebijakan yang menguntungkan kepentingan ekonomi-politik para elite ditengarai menjadi indikator mundurnya demokrasi Indonesia saat ini. Merosotnya demokrasi juga ditandai dengan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, penanganan pandemi yang buruk, perusakan lingkungan oleh elite, hingga maraknya korupsi di tingkat nasional dan lokal.

Situasi inilah yang memperburuk demokrasi di Tanah Air, yang sudah menurun dalam beberapa tahun ke belakang.

“Demokrasi memang tampak dilaksanakan secara prosedural. Tapi secara substansi tidak dilaksanakan untuk kepentingan rakyat sebagaimana mestinya,” kata Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, dalam diskusi virtual dilansir koran tempo.

Menurut Wijayanto, demokrasi saat ini hanya digunakan sebagai alat bagi sekelompok elite oligarki untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi, kata dia, telah mengkhianati asal-usul maknanya: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Ia mengatakan demokrasi semestinya mampu menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

“Dalam konteks ini, demokrasi tanpa demos tentu merupakan anomali, atau bahkan kontradiksi,” ucap Wijayanto.

Jeffrey A. Winters, mengatakan merosotnya demokrasi yang paling nyata terlihat pada makin jauhnya ketimpangan ekonomi antara masyarakat bawah dan segelintir elite. Ia juga menyoroti banyaknya partai politik yang muncul mendapat sponsor dari para oligark. Hasilnya, Indonesia memiliki banyak politik dinasti.

“Sistem di Indonesia adalah kombinasi dari kekuatan demokrasi dan oligarki,” kata Jeffrey.

Di Indonesia, Jeffrey menilai, tidak ada kandidat yang benar-benar berasal dari akar rumput tiap kali digelar pemilihan umum. Semua kandidat, kata dia, harus disokong oleh kekayaan untuk dapat mengikuti pemilihan.

Jeffrey pun menyampaikan beberapa rekomendasi agar demokrasi tak terus merosot. Satu di antaranya, politikus yang berkuasa dalam waktu lama harus turun dari panggung kekuasaan. Regenerasi politik perlu dilakukan karena generasi muda memiliki harapan mereka sendiri, tapi politikus veteran menjadi penghalang.

Selain itu, ia menegaskan bahwa kekayaan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, tapi pengaruh oligark dari pengambilan kebijakan bisa diatur.

“Hal ini tidak bisa menghilangkan kekuasaan dari oligark tapi bisa menurunkan pengaruh oligark agar tak terlibat penuh dalam proses demokrasi,” kata dia.

Sementara, Penelliti dari National University of Singapore, Eve Warburton, menjelaskan, ada keterkaitan antara gerakan antikorupsi dan demokrasi. Sementara pada 1998 kaum muda menuntut reformasi, pada 2019, mereka kembali menuntut transparansi dari reformasi dua dekade lalu. Gerakan antikorupsi terancam karena adanya kecenderungan korupsi yang ikut berevolusi selama era demokrasi. Mahalnya ongkos politik dalam kontestasi lima tahunan juga menjadi motif untuk melakukan korupsi.

Eve menuturkan KPK merupakan lembaga yang paling dipercaya oleh masyarakat, setidaknya sebelum Undang-Undang KPK direvisi. Terjun bebasnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK mengakibatkan adanya perbedaan antara masalah apa yang menjadi prioritas bagi masyarakat dan pemerintah. “Masyarakat menganggap korupsi menjadi masalah pelik, tapi tidak dengan pemerintah,” ujar Eve.

Wakil Rektor Universitas Diponegoro Budi Setiyono membeberkan adanya sejumlah persoalan besar yang harus diselesaikan jika ingin demokrasi terwujud. Persoalan pertama, kata dia, adalah partai politik. Di Indonesia, partai politik kini bukan lagi kendaraan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan, melainkan kendaraan para elite.

Tak jarang, ada yang menganggap partai sebagai milik pribadi ketua partai.

“Kalau ada bentrok kepentingan publik dalam pemilihan calon, misalnya, kepentingan elite pasti menang ketimbang kepentingan rakyat,” kata Budi.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan perjalanan di Indonesia perlu dikritik. Namun hal yang sama juga berlaku pada perjalanan masyarakat sipil.

“Kita perlu kritik perjalanan masyarakat sipil Indonesia dan demokrasi Indonesia saat ini,” katanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *