Indonesia, China dan Islam

Unjuk rasa dukung muslim Uighur

Oleh Dr. Mohammad Nasih, M.Si

Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang, dan Redaktur Ahli hajinews.id.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Indonesia dan China merupakan dua negara yang memiliki berbagai perbedaan, tetapi juga persamaan. Di antara perbedaannya adalah ideologi yang dianut. Indonesia menjadikan Pancasila sebagai ideologi, atau lebih tepatnya landasan filosofis sementara China menganut komunisme.

Sedangkan di antara persamaannya adalah di dalamnya terdapat berbagai entitas SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Di antara entitas yang ada di dalamnya adalah umat Islam. Karena keberadaan beragam entitas tersebut, kedua negara secara formal telah menerapkan kebijakan yang bersifat khusus.

Kedua negara juga mengalami masalah integrasi, karena adanya isu separatisme. China menghadapi tuntutan melepaskan diri dari kelompok yang ada di Xinjiang, sebuah provinsi yang berada pada perbatasan paling barat. Indonesia juga mengalami tuntutan serupa, bahkan di dua daerah paling barat di Aceh dan paling timur di Papua. Aceh telah makin mantap berada di pangkuan Indonesia dan tidak ada lagi wacana merdeka. Sedangkan di Papua masih muncul riak-riak kecil tuntutan untuk merdeka.

Untuk membuat Aceh mantap menjadi bagian dari Indonesia, dibuat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya terdapat aturan yang memberikan keleluasaan untuk penerapan Qanun yang berisi tentang aturan yang disebut dengan “syari’at Islam”.

Sebagai provinsi yang disebut sebagai serambi Makkah, masyarakat Aceh menginginkan agar ajaran-ajaran Islam benar-benar bisa dijalankan. Tentu dengan segala penafsiran yang muncul dan menguat, lalu ditransformasikan ke dalam produk kebijakan politik daerah NAD. Tentu saja banyak hal lain tuntutan dari masyarakat Aceh yang diakomodasi dalam UU tersebut, termasuk masalah-masalah selain syari’at. Keistimewaan tersebut diberikan dengan penuh keikhlasan dari pusat, agar Aceh bisa hidup dengan segala keunikannya dan secara bersamaan tetap berada dalam pangkuan NKRI.

Sedangkan di China, terdapat otonomi khusus untuk Provinsi Xinjiang. Ini tentu berkait erat dengan realitas bahwa muslim di provinsi paling barat China ini adalah mayoritas, kira-kira 45 persen. Secara umum, mereka adalah suku Uygur yang belakangan ini menarik perhatian dunia karena isu pelanggaran HAM. Karena otonomi khusus inilah nampaknya Xinjiang menjadi sangat unik dibandingkan provinsi-provinsi lain di Republik Rakyat Tiongkok.

Hanya saja, perlakuan negara terhadap umat Islam di kedua negara ini sangat berbeda. Indonesia telah sejak lama memberikan ruang yang sangat luas kepada umat Islam untuk menjalankan ajaran agama. Bahkan pada zaman Orde Baru yang di dalamnya umat Islam sering dicurigai hendak melakukan tindakan makar, umat Islam tidak mendapatkan hambatan berarti dalam konteks menjalankan ajaran agama. Sedangkan di China, ruang tersebut nampaknya masih belum cukup untuk bisa membuat, utamanya, umat Islam melaksanakan ajaran agama mereka secara leluasa.

Di Aceh, tentu saja karena otonomi khusus tersebut, umat Islam bisa menjalankan ajaran Islam sampai kepada urusan pidana. Di provinsi-provinsi lain, bahkan yang mayoritas penduduknya bukan muslim, negara benar-benar menjamin pemeluk agama bisa menjalankan ajaran agama. Dalam konteks Islam, fasilitas untuk menjalankan ajaran agama Islam, terutama shalat bisa ditemukan di hampir seluruh ruang publik, perkantoran pemerintah maupun swasta sampai bandara dan terminal. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada mal, yang nota bene lebih merupakan wujud ideologi kapitalisme, tidak menyediakan mushala, walaupun hanya di pojok parkir.

Namun, hal serupa tidak terdapat di China, bahkan di Xinjiang yang merupakan provinsi yang di dalamnya umat Islam menjadi umat mayoritas tersebut.

Mendarat di Bandara Urumqi, orang yang pertama kali menginjakkan kaki di sana, hampir bisa dipastikan akan merasa terkejut karena menyaksikan huruf “Arab Pegon” pada setiap tulisan petunjuk di papan-papan petunjuk bersamaan dengan tulisan China dan Latin berbahasa Inggris.

Tulisan Arab Pegon tersebut juga bisa ditemukan pada papan penunjuk jalan di sepanjang jalan besar. Namun, keterkejutan itu akan segera bercampur dengan keheranan tidak adanya fasilitas berupa mushala di sana. Bagaimana mungkin tempat umum dalam sebuah provinsi yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi tidak ada fasilitas untuk menjalankan ajaran agama yang bersifat harian, bahkan harus dijalankan lima waktu dalam sehari.

Bandara sebagai sebuah fasilitas umum dengan kepadatan yang akan terus meningkat disebabkan oleh lalu lalang tidak sedikit umat Islam, tentu saja mestinya ditunjang oleh fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan untuk menjalankan ibadah, bagi umat Islam, tak beda dengan kebutuhan makan dan minum yang bisa dipastikan bisa ditemukan di mana saja. Makan dan minum cukup hanya dengan tiga kali sehari, tetapi shalat harus dijalankan lima kali sehari, dan jika dilakukan jama’ (penggabungan waktu) minimal memerlukan tiga waktu dalam sehari, dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya’, dan shubuh.

Saya berani memastikan bahwa inilah di antara yang menyebabkan pandangan negatif sebagian warga negara Indonesia terhadap China dalam konteks kebebasan menjalankan ajaran agama Islam bagi sebagian warganya. Ini akan bertambah lagi dengan adanya pembatasan waktu buka masjid-masjid di Xinjiang.

Selama beberapa hari melakukan pengamatan di beberapa masjid di Xinjiang, saya belum pernah menemukan jamaah masjid, selain orang-orang yang secara khusus dipersiapkan untuk menerima rombongan kami. Apalagi tidak setiap saat masjid dibuka. Sebab, masjid hanya dibuka 30 menit sebelum dan sesudah waktu shalat.

Tentu saja ini akan menyulitkan kaum muslim yang hendak melaksanakan ibadah shalat, tetapi tidak bisa menjalankannya di awal waktu karena berbagai urusan. Dalam sebuah kota dengan kesibukan yang tinggi, tentu saja diperlukan waktu yang bebas untuk menjalankan shalat, tidak hanya di awal waktu.

Karena keadaan ini, tentu saja umat Islam di negara-negara lain akan mudah untuk mempercayai informasi bahwa terdapat perlakuan tidak seharusnya terhadap umat Islam yang ada di China. Dia antaranya informasi-informasi tentang suku Uygur yang diperlakukan secara diskriminatif, akan mudah dipercaya karena di ibu kota provinsi yang sangat mudah bagi akses media saja umat Islam mengalami hambatan.

Bagi mereka yang memiliki nalar politik kuat, isu separatisme justru bisa saja digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan represi terhadap mereka untuk memperlancar desakan Suku Han ke dalam Provinsi Xinjiang ini dengan tujuan untuk mengimbangi dominasi suku Uygur.

Karena itu, China perlu terus melakukan perbaikan tentang pengelolaan keberagaman SARA. Akan sangat tepat jika China melakukan kalkulasi ulang tentang masalah ini, agar di masa yang akan datang umat Islam di negara-negara lain, terutama yang mayoritas penduduknya muslim, memandang positif China. Sebab, perkembangan Islam di berbagai belahan bumi nampaknya tidak akan terbendung. Karakter ajaran Islam yang rasional dan karena itu selaras dengan temuan-temuan dalam sains, akan menjadi daya tarik tersendiri agama ini kepada siapa pun yang di era informasi ini bisa mendapatkan informasi dengan sangat mudah.

Selain itu, di masa yang akan datang, tidak akan ada negara yang terhindar dari pluralisasi SARA, terutama disebabkan oleh teknologi transportasi dan informasi. Karena itu, negara yang mampu mengelola keberagaman SARA dengan baik, akan menjadi contoh untuk mengelola keragaman yang ada di dalamnya. Jika China berhasil, sebagai negara besar dan saat ini mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat, maka akan menjadi salah satu contoh terbaik dalam hal pengelolaan kebhinnekaan SARA. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *