Negara Justru Berhutang ke Muhammadiyah Rp 1,2 Triliun

Din Syamsudin. Foto: tribun
banner 400x400

Surakarta, hajinews.id-Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Din Syamsuddin mengatakan, utang negara ke Muhammadiyah mencapai Rp 1,2 triliun. Utang tersebut berupa tanggungan BPJS di seluruh rumah sakit milik Muhammadiyah.

Meski demikian, Persyarikatan tidak menagih utang itu dengan menggebu. Karena Muhammadiyah selalu berusaha memberi yang terbaik.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

”Sebagai ketua ranting, saya amati, para pengurus PP (pimpinan pusat) atau Pimpinan Wilayah Muhammadiyah tidak menggebu menagih utang itu. Tapi itulah sifat Muhammadiyah. Selalu memberi dan melayani, tidak meminta-minta apalagi mengemis,” ujarnya ketika memberi ceramah dalam acara Milad ke-61 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Launching Count Down Menuju Muktamar di Solo, Sabtu (28/12), di Sport Center UMS Kampus II, Surakarta.

Din Syamsuddin menegaskan, Muhammadiyah memang harus memberikan sumbangsih untuk Indonesia. Karena organisasi berlambang matahari ini telah menyepakati negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah.

”Dengan demikian, Muhammadiyah harus berkorban untuk Indonesia. Persyarikatan harus bisa menjadi kekuatan yang bermanfaat bagi negeri ini,” ujarnya.

Menurut Din Syamsuddin, Muhammadiyah dan Indonesia bagaikan saudara kembar. Seperti matahari dan bumi yang saling membutuhkan. ”Tidak ada bumi tanpa matahari. Sebaliknya, matahari diciptakan untuk menyinari bumi,” ujar Din.

Begitu pula, sambung Din Syamsuddin, antara Muhammadiyah dan pemerintah harus saling membutuhkan. Muhammadiyah membutuhkan pemerintah untuk melangsungkan dakwah pencerahan.

”Pemerintah butuh Muhammadiyah karena akan mengarahkan pembangunan ini ke arah yang lebih baik,” tutur Din Syamsuddin yang menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun 2005-2015 itu.

Din Syamsuddin memaparkan, agar bisa menyinari Indonesia, Muhammadiyah harus menerapkan ajaran wasathiyah Islam. Ajaran ini memiliki tujuh ciri.

Pertama, berlaku adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas.

Kedua, menegakkan keseimbangan. ”Bukan hanya keseimbangan non-fisik dan fisik, atau sosial dan individu saja. Tetapi keseimbangan secara menyeluruh,” terangnya.

Ketiga, lanjut Din Syamsuddin, toleransi. Manusia itu majemuk. Maka adanya perbedaan tidak bisa dielakkan. Untuk itu dibutuhkan kesediaan saling menerima perbedaan itu.

Ciri keempat, memiliki kecenderungan musyawarah. ”Ulama luar negeri pernah memuji Islam Indonesia karena suka musyawarah. Tidak berpegang teguh dengan pendapat sendiri,” tutur Din Syamsuddin.

Kelima, melakukan perbaikan, kemaslahatan atau amal shaleh. Keenam, melakukan kepeloporan. Tidak diam, berhenti, atau bahkan menunggu.

Ciri terakhir, berkewarganegaraan. ”Harus menjadi pemahaman bersama bahwa kewarganegaraan menjadi keperluan dalam negara bangsa. Dalam hal ini, Ibrahim As bisa menjadi contoh. Karena dia bisa menghargai dan menerima negara bangsa,” kata Din Syamsuddin.

Dia pun berharap, ajaran wasathiyah Islam ini menyatu dalam kepribadian Muhammadiyah. Yakni berdasar Alquran dan Assunah.

”Mari bertoleransi. Mari gemar bermusyawarah. Seperti yang diajarkan dalam Surat Ali Imran 103. Intinya adalah persaudaraan dan Persatuan. Saya juga berharap agar kita bisa melakukan kepeloporan. Dengan demikian Muhammadiyah akan memajukan Indonesia dan mencerahkan bangsa,” ujarnya. (wh/pwmu)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *