Membaca Skenario Hadang Anies di Pilpres 2024 (1)

Gubernur Anies dapat banyak penghargaan (dok).

Jakarta, Hajinews.id,- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sejak terpilih dua tahun lalu tak henti-hentinya menghadapi berbagai rintangan dalam menjalankan tugasnya hingga bullyan yang kian keras. Kemenangan Anies dalam Pilkada DKI memang banyak yang jengkel karena Anies dikenal tak mau kompromi soal Reklamasi misalnya. Bahkan sampai sekarang pun hanya dia yang disebut calon kuat dalam Pilpres 2024 mendatang. Itu sebabnya ada skenario bagaimana menjegal Anies agar tidak maju di 2024. Tulisan berikut ini sengaja diambil dari Idtoday.co dan dirurunkan secara berseri:

BEBERAPA hari lalu Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Muhammad Taufik mengatakan bahwa Undang-undang Ibu Kota Negara akan keluar pada bulan Juni 2020.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Menurutnya, undang-undang itu akan mengakhiri stasus Jakarta sebagai ibu kota negara.”Insyaallah bulan Juni, Jakarta tamat sebagai ibu kota negara.

Undang-undang (ibu kota baru) akan keluar bulan Juni,” kata Taufik saat sambutan Rapat Kerja Daerah Partai Gerindra DKI Jakarta, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (26/1/2020).

Ada yang menilai bahwa pernyataan Taufik ini menjadi salah satu rangkaian peristiwa yang erat kaitannya dengan suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024 mendatang.

Bahkan peristiwa itu menjadi benang merah adanya upaya untuk menghadang majunya Anies Baswedan sebagai Capres di 2024, benarkah demikian ?. Peristiwa peristiwa apa saja yang menunjukkan bahwa Anies Baswedan memang sengaja jadi target untuk dijegal ?

Menjadi Ancaman

Diakui atau tidak nama Anies semakin popular saja. Baik karena cara dan pilihan kerja maupun kemampuannya menyampaikan kata-kata. Seiring waktu, rakyat makin suka dengan penampilannya.

Situasinya terasa ketika Anies diperlakukan tidak semestinya, rakyat bangkit membelanya. Mereka mengatakan bahwa Gubernurnya sedang di dizalimi “terdzalimi” untuk sebuah kesalahan yang tidak diperbuatnya.

Perlakuan yang tidak adil alias penzaliman kepada Anies sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sejak ia dicopot sebagai Menteri menyusul kemudian keinginannya untuk maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, cukup kentara tangan tangan yang mencoba menghentikan langkahnya.

Sebagai contoh majalah Tempo edisi 25 Maret 2018 halaman 30, menulis berita yang cukup mengejutkan. Tergolong sangat berani untuk ukuran media yang hidup di bawah rejim yang sekarang berkuasa.

Tulis tempo: ada “tim khusus” yang bertugas memastikan Anies tidak maju di Pilpres 2019. Sebelumnya, juga santer kabar bahwa ada dua petinggi negara datang ke seorang pengusaha pribumi.

Pesannya sama : minta agar tidak mendorong Anies nyapres. Dua berita ini memberi kesimpulan; Anies yang paling diperhitungkan.

Berita Tempo seolah mengingatkan publik atas sejumlah tragedi yang pernah menimpa Anies sebelumnya. Saat nyalon gubernur, istana dianggap sangat transparan mendukung lawannya.

Selanjutnya ada tragedy GBK dimana Anies dihadang paspampres saat mau menemani tim Persija menerima piala. Nama Anies pun dicoret panitia menjelang penyerahan piala.

Kabarnya, banyak cerita model ini yang tidak diketahui publik. Ada pihak-pihak yang secara sistematis berupaya membonsai Anies agar tak muncul ke publik. Dengan begitu, Anies tak punya kesempatan “ngebrand” sehingga tidak berpeluang nyapres nantinya.

Terhadap perlakuan perlakuan tidak adil tersebut, para pendukung rupanya tidak tinggal diam namun mengambil sikap membela.Pembelaan didunia medsos yang dilakukan oleh pendukungnya semakin terasa setelah Prabowo tidak lagi menjadi icon perlawanan kepada penguasa.

Memang sebagian rakyat nampaknya mulai menggantungkan “perlawanan” kepada rejim penguasa melalui sosok Anies Baswedan yang kini menjadi Gubernur Jakarta.

Fenomena tersebut tentu saja membuat pihak istana menjadi khawatir, takut dan gundah gulana. Sebab, Anies berpotensi menjadi ancaman serius bagi calon pemimpin yang disiapkan penguasa pada pilpres di 2024.

Sejumlah survei telah menominasikan Anies sebagai pesaing terberat bagi para kandidat yang akan bertarung di Pilpres nantinya. Status Anies sebagai Gubernur DKI menjadi “branded media darling” dimana hampir semua media menyorotnya.

Ini faktor suplai popularitas yang tak bisa dihalangi oleh siapapun juga. Bahwa siapapun yang menjadi gubernur DKI, wartawan akan selalu mengubernya.

Fakta bahwa Jokowi nyapres ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI dianggap telah membuka jalur baru Anies menuju ke istana. Itulah sebabnya sebagai Gubernur DKI saat ini, banyak pihak mendesak Anies nyapres supaya menjadi orang nomor satu di Indonesia .

Apalagi, Anies punya latar belakang yang jauh lebih baik dari sisi kualitas. Pendidikan S3 (doktor), mantan rektor dan pernah menjabat sebagai menteri pula. Background pendiri “Indonesia Mengajar” ini lebih menjual jika dibandingkan dengan kandidat lainnya.

Pendeknya, popularitas adalah pintu bagi seseorang untuk mendapatkan suara ketika pemilu digelar untuk menentukan pilihannya . Mengenai disukai atau tidak, dipilih atau tidak sangat bergantung pada performance atau kinerjanya.

Namun sejauh ini, Anies sebagai Gubernur Jakarta telah menampilkan dirinya sebagai sosok menarik untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pertama, cerdas. Baik dalam konsep maupun kerja. Ok Oce, DP 0% dan kampung Aquarium adalah contoh dimana Anies, dibantu Sandi, mampu menyajikan sesuatu yang berbeda dalam menata kota Jakarta.

Posisinya dalam membela rakyat kecil sudah ditunjukkan dengan pembelaannya pada kepentingan pedagang kecil di Tanah Abang maupun menyetop penggusuran penggusuran yang gencar dilakukan oleh gubernur sebelumnya.

Pembelaannya terhadap abang becak, menyetop proyek reklamasi adalah bagian dari keberpihakan yang nyata dan terasa. Anies fokus bekerja untuk memenuhi janji janji kampanyenya. Cara kerja ini dinilai cocok untuk di adopsi ke tingkat Nasional menjadi Gubernur Indonesia.

Kedua, pola komunikasinya. Cara bicaranya tertata, jelas dan tegas, santun dan sesuai dengan fakta yang ada. Tidak ada kesan arogansi dan defensive untuk melarikan diri dari fakta yang ada. Apalagi kata kata kotor yang menyakiti lawan lawan politiknya.

Ketiga, tingkat emosional (kesabaran)-nya. Dalam hal ini terlihat Anies cukup matang emosinya. Tidak meledak ledak meluapkan emosi semau maunya. Hal ini berbeda dengan pejabat sebelumnya yang dikenal agak arogam dan sok kuasa.

Tingkat emosi ini sangat penting sebagai salah salah satu syarat bagi seorang pemimpin untuk naik kelas ke jenjang berikutnya.

Berbagai tragedi politik, mulai dari pencopotan Anies sebagai menteri, proses pencalonannya di pilgub, acara pelantikan dan pidato perdananya, kasus reklamasi sampai tragedi GBK, Anies menghadapi perlakuan yang tidak semestinya.

Semuanya menjadi modal dasar yang sangat diperhitungkan lawan ketika Anies maju menantang jagonya petahana.Kesabaran Anies menghadapi tekanan itu justru menjaring empati dan mendapatkan respon positif publik sehinga banyak orang bersimpati kepadanya.

Kesempatan Anies untuk maju menjadi salah satu Capres di 2024 makin terbuka manakala Ketua Umum Nasdem Surya Paloh terang terangan akan menjagokan Anies untuk bertarung pada pilpres mendatang menantang jago yang di usung kubu petahana.

Namun untuk diketahui, Anies yang merupakan produk Pilkada 2017-2018, tidak akan bisa langsung bertarung memperpanjang jabatannya karena mereka akan digantikan penjabat sampai digelarnya pemilu serentak pada 2024.

“Untuk mengisi jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya hingga 2022 dan 2023, hingga pilkada serentak 2024 diangkat penjabat kepala daerah. Bukan Plt, tapi Pj,” ujar komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi saat dihubungi detikcom, Kamis (25/7/2019).

Pernyataan Pramono tersebut mengacu pada Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. Dalam UU itu disebutkan untuk mengakomodir keperluan Pilkada Serentak, maka setelah selesainya masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2017-2018, maka tidak akan langsung dilakukan Pilkada.

Penjabat kepala daerah akan memimpin pemerintahan daerah untuk sementara waktu sampai 2024.

Hal itu sesuai dengan bunyi pasal 201 ayat 9 UU No. 10 Taun 2016, bahwa : Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Adapun masa jabatan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan akan berakhir pada 16 Oktober 2022 mendatang bersamaan dengan para Gubernur,Bupati dan Walikota daerah lain yang tela dipilih pada pilkada 2017/2018. (bersambung).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *