Membaca Skenario Hadang Anies di Pilpres 2024 (5 habis)

Anies Baswedan ketika mendapat penghargaan di Buenos Aires, Argentina (rep)
banner 400x400

Hajinews.id,- Bagian ini menjelaskan dugaan bahwa UU Omnisbus Law yang sedang dirancang akan menjegal pencalonan seorang gubernur jadi presiden. Arahnya diduga adalah Anies Baswedan karena sejak pagi dia sudah populer dan seolah belum ada lawan tanding.

8. UU Omnibus Law Sebut Mendagri Bisa Berhentikan Gubernur?

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Beredar sebuah narasi di media sosial bahwa ada ketakutan terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi Presiden RI. Ketakutan itu tercermin dari upaya pembuatan Undang-Undang (UU) yang bertentangan dengan demokrasi.

Adalah akun facebook Maulidin Ismail pada Kamis 23 Januari 2020 membagikan sebuah link pemberitaan Detik.com berjudul “Tito Dicecar DPR soal Mendagri Bisa Pecat Gubernur di Draf Omnibus Law.”

Akun Maulidin Ismail menambahkan sebuah narasi bahwa rancangan UU itu dibuat lantaran ada ketakutan terhadap Anies untuk maju sebagai Presiden.

Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Lapangan Kerja masuk dalam program Omnibus Law. Dalam draf RUU tersebut diatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bisa memberhentikan kepala daerah yang tak menjalankan program strategis nasional. Hal itu sebagaimana tertulis dalam draf RUU Cipta Lapangan Kerja BAB VIII Dukungan Inovasi dan Riset Pasal 520 dan 521.

Dalam pasal 520 dan 521 ayat 1 sampai 3, diatur tentang kepala daerah baik gubernur maupun bupati dan wali kota bisa diberikan sanksi mulai dari teguran tertulis, diberhentikan sementara selama tiga bulan, hingga diberhentikan permanen, jika tidak melaksanakan program strategis nasional atau kewajibannya.

“Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah” demikian bunyi ayat 3 dalam pasal tersebut.

Pemberhentian gubernur akan dilakukan oleh Mendagri, sedangkan bupati dan wali kota dilakukan oleh gubernur selaku perwakilan pemerintah pusat di daerah.

Kalau memang draft RUU-nya seperti itu maka hal ini boleh dikatakan sebagai sebuah kemunduran. Menjadi ngawur ketika RUU Omnibus Law justru ditumpangi semangat untuk mengebiri sistem demokrasi yang sudah berjalan.

Sedangkan wacana mengembalikan pemilihan gubernur ke tangan DPRD saja masih pro-kontra, sekarang justru mewacanakan untuk menempatkan gubernur sebagai “anak buah” Mendagri dan bupati/wali kota di bawah ketiak gubernur.

Pertanyaan paling mendasar, apa gunanya pemilihan langsung oleh rakyat jika hasilnya, produknya, dapat dengan mudah dicopot oleh pembantu presiden!Terlebih dasar yang digunakan sangat subjektif. Ada dua hal yang perlu dikritisi terkait poin keenam dari pasal 519 itu.

Pertama, apa yang dimaksud dengan program strategis nasional? Apakah yang termasuk dalam rencana pembangunan jangka menengah/panjang (RPJM/P)? Atau semua proyek pemerintah pusat di daerah? Batasan terkait definisinya sangat longgar.

Kedua, bagaimana jika pemerintah daerah menolak karena merasa tidak cocok dengan kepentingan daerahnya? Sebagai contoh, “penolakan” Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X terhadap rencana pembangunan jalan tol yang membelah Kota Yogyakarta.

Apakah kemudian Mendagri akan melengserkan Sri Sultan?

Jika demikian, jangan-jangan nanti seperti masa Orde Baru di mana daerah harus selalu sendiko dawuh terhadap pemerintah pusat.

Lalu apa gunanya desentraliasi yang kita gelorakan di awal reformasi? Kepala daerah yang paling tahu kebutuhan daerahnya yang diselaraskan dengan aspirasi rakyatnya.

Pemerintah pusat tidak boleh menggunakan tangan besi untuk memaksakan kehendaknya karena mungkin saja program yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi setempat, baik geografis maupun kultur masyarakatnya.

Karena adanya keanehan keanehan itu sehingga banyak yang curiga bahwa UU Omni Buslaw yang didalamnya juga mengatur soal pemberhentian Gubernur/ Bupati dan Walikota hanya dijadikan sebagai alat untuk menghentikan langkah pejabat daerah yang tidak “sejalan” dengan keinginan Pusat.

Termasuk tentunya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atau Gubernur Sumatera Utara, benarkah demikian ?. Wallahu a’lam. [ljc]

sumber  https://www.dtoday.czo/2020/01/terbacanya-skenario-hadang-anies-maju.html

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *