Final dan Mengikat, Putusan MK Batalkan Pasal Penghinaan Presiden

MS Kaban. (Ist)
banner 400x400

JAKARTA, hajinews.id – Terbitnya Surat Telegram Kapolri Jenderal Idham Aziz Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 terkait soal penghina presiden selama penanganan pandemi virus corona alias Covid-19, terus menuai pertentangan dari berbagai kalangan. Kali ini datang dari politisi senior MS Kaban yang mengingatkan bahwa pasal-pasal yang berhubungan dengan penghinaan terhadap presiden sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Keputusan Mahkamah Konstitusi final mengikat. MK telah batalkan pasal-pasal berhubungan penghinaan presiden,” kata Kaban melalui akun Twitternya, Kamis (8/4/2020).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Kapolri/Bareskrim bikin maklumat/telegram tentang penghinaan presidan & pejabat. Prasangka baik keputusan itu menambah ruh haus kewenangan atau tiket untuk jadi Kapolri yang akan datang. Demi hukum batal lho,” lanjut mantan Menteri Kehutanan itu.

Sebagai informasi, pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP telah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 huruf f tentang kebebasan menyatakan pendapat, dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga ikut mengkritisi Surat Telegram Kapolri itu.  Ketua YLBHI Asfinawati mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. “Penghinaan presiden lagi, sudah dinyatakan tidak mengikat pasalnya oleh MK,” kata Asfinawati, Senin (6/4/2020).

Selain YLBHI, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni pun mengkritik tajam Surat Telegram Kapolri salah satunya terkait penindakan tegas bagi penghina presiden dan pejabat pemerintah dalam menangani pandemi corona dan berpotensi “abuse of power”.

“Aturan ini berbahaya sekali. Ini berpotensi ‘abuse of power’ nanti ada yang kritisi sedikit, langsung ditindak polisi,” kata Sahroni dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (7/4/2020). (rah/berbagai sumber)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *