Antisipasi Krisis Pangan Baru

Bustanul Arifin. (Investordaily)
banner 400x400

Oleh: Bustanul Arifin, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Ekonom Senior Indef

BAYANG-BAYANG krisis pangan baru karena pandemi covid-19 mulai menjadi bahan diskusi publik. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memberikan peringatan krisis pangan global.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Bukan karena lonjakan harga pangan yang tajam, melainkan karena menurunnya akses pangan masyarakat.

Menurut Lembaga Penelitian Pangan Internasional (IFPRI), pandemi covid-19 akan menyebabkan kontraksi pertumbuhan global minus 5% (IFPRI, 19 April 2020). Kelompok masyarakat menengah bawah atau negara-negara berpenghasilan menengah rendah rentan menjadi miskin dan rawan pangan, karena faktor akses pangan ini.

Indonesia tidak dapat menganggap enteng bayang-bayang krisis pangan 2020 ini. Pada Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) tanggal 22 April 2020, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju untuk menjaga stok pangan pokok dan strategis, memastikan akses pangan bagi mereka yang terdampak covid-19. Dan, melakukan reformasi kebijakan pangan yang menyeluruh untuk perbaikan ke depan.

Beras masih dijadikan barometer ketersediaan pangan, walaupun Indonesia memiliki sumber karbohidarat alternatif seperti ubi kayu, ubi jalar, ganyong, gembili, sagu, dan lain-lain.

Ketersediaan pangan lokal di atas masih sangat terbatas. Apalagi, pengindustrian bahan dasar karbohidrat itu menjadi tepung belum tersedia secara masif dan pada skala komersial. Artikel ini membahas bayang-bayang atau potensi krisis pangan 2020. Dan, menawarkan kebijakan antisipasi dan mitigasi krisis pangan tersebut, jika sampai terjadi.

Transmisi krisis pangan

Krisis pangan 2020 lebih berupa melemahnya akses pangan karena perekonomian mengalami kontraksi dan daya beli menurun drastis. Harga pangan di tingkat global belum mengalami kenaikan signifi kan, karena stok pangan global masih baik, panen tidak buruk, cuaca cukup bersahabat.

Dan, harga minyak global rendah, bahkan, mencapai rekor terendah sepanjang sejarah.

Beberapa komoditas pangan global mengalami lonjakan, khususnya pangan berbasis biji-bijian, seperti beras. Pangan berbasis minyak nabati bahkan mengalami penurunan, karena keterkaitan yang cukup tinggi dengan harga minyak bumi global.

Harga beras global telah merangkak naik, bahkan sudah tembus US$500/ton, karena volume perdagangan beras sudah menurun. Sebagai produsen beras utaman, Thailand, Vietnam, dan Myanmar akan memprioritaskan kebutuhan beras domestik masing-masing, baru sisanya untuk memenuhi pasar global.

Walau produksi berasnya tinggi, permintaan beras China di dalam negerinya sangat tinggi. Maksudnya, China merupakan eksportir dan importir beras sekaligus. India dan Pakistan dapat menjadi sumber alternatif pemasok beras, jika negara-negara produsen beras enggan mengekspor beras mereka.

Jika persoalan akses pangan (sisi permintaan) bersenyawa dengan persoalan ketersediaan (sisi penawaran), krisis pangan amat mungkin akan terjadi.

Di satu sisi, akses masyarakat menengah-bawah terhadap pangan menurun drastis karena masyarakat tiba-tiba tidak dapat bekerja dan/atau kehilangan pekerjaan. Harga pangan secara riil menjadi lebih mahal, karena daya beli yang menurun, walaupun harga nominal tidak banyak berubah.

Di sisi lain, ketersediaan pangan domestik mulai bermasalah. Terutama, pangan yang berbasis impor, karena ketergantungan yang berlebihan menjadi faktor risiko tersendiri. Pemerintah wajib menghindari dua sumber transmisi krisis pangan. Setidaknya, mengupayakan secara serius agar sisi permintaan tidak terjadi bersamaan dengan sisi penawaran.

Kelalaian atau keterlambatan melakukan antisipasi krisis ini akan berdampak sosial-ekonomi dan politik lebih dahsyat karena tingkat sensitivitas pangan sangat tinggi.

Antisipasi pemerintah Indonesia

Untuk menanggulangi tansmisi krisis dari sisi permintaan, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan total anggaran Rp405 triliun untuk penanganan covid-19, walaupun tidak secara eksplisit untuk menanggulangi krisis pangan.

Pertama, pemerintah berencana memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat yang terdampak covid-19 sampai Rp 110 triliun. Yaitu, untuk 10 juta penerima Program Keluarga Harapan (PKH), 20 juta kartu sembako, 5,6 juta kartu prakerja, insentif cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta diskon tarif listrik bersubsidi. Langkah ini dimaksudkan untuk meredam penurunan daya beli atau akses pangan, khususnya dari kelompok masyarakat menengah- bawah atau 40% dari kelompok pendapatan.

Kedua, anggaran kesehatan Rp75 triliun, untuk pembelian alat kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan dan peningkatan kapasitas rumah sakit rujukan.

Ketiga, anggaran program pemulihan ekonomi mencapai Rp150 triliun, untuk restrukturisasi utang atau tunggakan kredit. Dan, penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Keempat , anggaran untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp70 triliun, untuk insentif pajak penghasilan (PPh 21) maksimal Rp200 juta per tahun, pembebasan PPh impor, restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat, penurunan PPh badan menjadi 22%. Dan, penundaan pembayaran pokok dan bunga cicilan KUR selama 6 bulan.

Antisipasi krisis pangan yang dilakukan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) cukup menarik perhatian global. *Tanggal 17 April 2020 U S DA mengumumkan alokasi anggaran US$19 miliar (sekitar Rp300 triliun) untuk membantu petani dan peternak di sana melalui Program CARES (Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act), di luar program penyelamatan keluarga dan anak-anak karena pandemi korona.

Anggaran itu terdiri dari dua kelompok besar. Pertama, bantuan langsung kepada petani dan peternak US$16 milliar (Rp250 triliun). Dan kedua, pembelian produk pangan petani dan penyaluran distribusi pemerintah sebesar US$3 miliar (Rp50 triliun).

USDA membantu membeli buah, sayur, daging, susu, dll dari petani, lalu membantu proses pengepakan dan penyaluran produk pangan tersebut ke titik-titik distribusi pangan (food banks).

Terutama, yang berada di kota- kota besar dari Pantai Timur di New York, Boston, dan lain-lain sampai ke Pantai Barat di San Francisco, Los Angeles dan sebagainya.

Bagi Indonesia, antisipasi dari sisi penawaran harus dilakukan dengan saksama. Karena, beberapa komoditas pangan cukup responsif terhadap intervensi kebijakan. Beberapa komoditas pangan tidak terlalu responsif, apalagi jika Indonesia tidak mengelolanya secara langsung.

Dalam kondisi ekonomi global normal dan perdagangan internasional terbuka, perbaikan governansi, perizinan, dan administrasi impor mampu meredam lonjakan harga pangan.

Tiga kasus komoditas pangan ini dapat dijadikan pelajaran berharga. Pertama, harga gula pada pekan keempat April 2020 mencapai Rp18.400/kg. Suatu rekor kenaikan harga baru, karena naik 36,8% dibandingkan April 2019. Gula sempat baik di pasar tradisional dan pasar modern. Total konsumsi gula Indonesia lebih dari 6 juta ton, sedangkan kemampuan produksi gula domestik kurang dari 2,5 juta ton.

Produksi gula Indonesia tebu domestik tahun 2019 tercatat 2,25 juta ton, jauh dari obsesi swasembada yang sering menjadi agenda politik. *Pada 2020 gula tebu akan panen dan giling pada Juli-Agustus, sehingga pada April ini stok gula menipis. Industri gula rafinasi yang menyimpan stok gula dapat menjadi penghela stabilisasi harga dalam jangka pendek.

Kedua, harga bawang putih yang pernah mendekati Rp50.000/ kg pada Februari 2020, kini telah stabil pada harga Rp40.650/ kg. Indonesia masih tergantung 95% pada bawang putih impor terutama dari Tiongkok, karena peningkatan produksi bawang putih dalam negeri masih tertatih-tatih.

Setelah rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dikeluarkan Kementerian Pertanian dan Surat Persetujuan Impor (SPI) bawang putih dikeluarkan Kementerian Perdagangan, bawang putih impor telah masuk pasar, dan harga turun signifikan. Akan tetapi, strategi ketergantungan impor pangan seperti ini tidak dapat dijadikan andalan selamanya, karena sensitif pada konsisi ekonomi global.

Ketiga, harga beras stabil tinggi pada harga Rp11.950/kg rata-rata dan Rp11.750/kg untuk kualitas medium 2 pada pekan keempat April 2020, atau hanya naik 2% dari harga 2019. Produksi beras tahun 2019 tercatat 31,31 juta ton, turun 7,76% dari produksi tahun 2018.

Bulan April 2020 memasuki panen raya, musim tanam terlambat sebulan. Neraca beras sampai Maret 2020 mulai positif, dan surplus 1,04 juta ton, dan akan berlanjut sampai Juli 2020. Surplus beras yang diperoleh pada musim panen rendeng akan terus terpakai atau dikonsumsi, karena panen akan jauh berkurang sejak Juli 2020. Titik kritis beras akan terjadi pada akhir tahun 2020 dan awal 2021, karena panen musim gadu berkisar 35% dari total panen setahun.

Langkah antisipasi dan mitigasi krisis pangan perlu dipertimbangkan. Pertama, pemberian jaminan distribusi, subsidi ongkos angkut armada pangan, khususnya dari sisi hilir dan tengah. Satuan tugas (satgas) pangan akan lebih produktif jika diperbantukan untuk memantau sistem logistik dan jaringan distribusi pangan.

Kedua, jaminan kepada petani untuk mampu memetik hasil panennya dengan harga beli yang layak. Ketiga, insentif khusus untuk petani hortikultura, perkebunan, dan lainlain, jika pemerintah serius akan mencapai target ekspor produk andalan tiga kali lipat. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *