Salat Jamaah Berjarak karena Corona Dianggap Salat Sendiri?

Shalat jamaah phisical distancing (dok)
banner 400x400

Hajinews.id,-  Berikut ini Redaksi kutipkan pendapat ustadz Eko Misbahuddin menjawab pertanyaan jamaah apakah salat jamaah di masjid dengan berjarak karena kasus corona dianggap sebagai salat jamaah, sementara syarat sempurnanya salat jamaah adalah rapat dan lurusnya shaf.

Oleh : Ust. Eko Misbahuddin, Lc., M.A.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Kini Allah Azza wa Jalla sedang menguji umat manusia dengan wabah virus Covid-19 yang telah menjadi pandemi. Wabah yang menyebar dengan cepat dan dalam lingkup yang sangat luas, dengan sendirinya berubah menjadi ‘umum al-balwa, yakni musibah atau kesulitan yang menimpa manusia secara global, termasuk di dalamnya kaum muslimin.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menjelaskan beberapa cara menghindari virus corona, di antaranya menerapkan social distancing (jaga jarak) minimal satu meter dari orang yang terindikasi menderita corona. Karena kita tidak bisa mengetahui secara pasti seseorang positif corona atau tidak, maka sistem jaga jarak dan tidak kontak langsung kini diterapkan dimanapun, terhadap siapapun, khususnya di tempat umum.

Panduan menjaga diri dari virus corona tersebut berdampak langsung pada amal ibadah, seperti haji dan umrah, shalat jamaah, shalat Jumat, shalat jenazah, dll. Sebagian dari panduan ibadah dan penyikapan terhadap virus corona, dapat dilihat di sini: https://drive.google.com/file/d/16iuEjIVoApaRtKmkOqFyhGZPZFw15TcY/view

Sebelum penjelasan hukum salat berjamaah di masjid dengan shaf terpisah karena wabah yang melanda, ada beberapa poin penting yang perlu kita pahami bersama:

1. Jika sudah ada instruksi dari pihak berwenang (dalam hal ini pemerintah & MUI) untuk menghentikan sementara kegiatan shalat Jumat dan salat fardhu berjamaah di masjid, maka wajib bagi seorang muslim untuk menaatinya.

2. Jika larangan tersebut masih berupa imbauan, karena keadaan masih dianggap kondusif, dan imbauan tersebut bertujuan pencegahan dini, maka sebaiknya imbauan tersebut diikuti, karena mencegah lebih baik daripada mengobati. (Kaidah Sadd al-Dzarai’ dan Kaidah ‘Laa Dharara wa Laa Dhiraar’). Keluarnya imbauan dari pemerintah atau MUI sudah dengan sendirinya menjadi udzur untuk meninggalkan Salat Jumat dan jamaah di masjid.

3. Jika belum ada larangan atau imbauan khusus untuk daerah tertentu, karena penyebaran virus belum sampai, dan masyarakat yakin bahwa daerahnya masih steril, maka shalat Jumat dan jamaah di masjid tetap dilaksanakan seperti biasa, demi menjaga syiar Islam. Dalam kondisi ini, maka Salat Jumat dan salat fardhu berjamaah dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Untuk poin kedua, jika sebuah lembaga atau badan takmir masjid tetap memilih melaksanakan Salat Jumat dan salat berjamaah di masjid, dengan menerapkan beberapa bentuk preventif, seperti memakai masker, social distancing (jaga jarak) shaf salat, maka ada perbedaan pendapat antara ulama (kontemporer) tentang sah tidaknya salat dengan shaf yang berjauhan, baik antara shaf pertama dan kedua, maupun antara seorang dengan orang yang di kanan dan kirinya.

Berikut pendapat para ulama tentang salat berjamaah dengan social distancing (jaga jarak 1 meter atau lebih antara jamaah):

1. Salat di masjid dengan model social distancing tidak dianggap salat berjamaah, shalat ini dianggap salat sendiri. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini:

a. Syekh Abdul Muhsin al-Abbad.
Ketika ditanya tentang hukum shalat berjamaah dengan cara social distancing, beliau menjawab: “Salat (jamaahnya) tidak sah, hukumnya sama saja dengan saat mereka salat sendirian.” (https://twitter.com/abdul4455_com/status/1238871363290640384).

Tetapi beliau tidak menyebutkan dalil dari pendapat tersebut. Mungkin landasannya adalah hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berisi perintah meluruskan dan merapatkan shaf dan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib. Sedang shalat dengan tatacara sebagaimana disebutkan di atas berarti melanggar perkara yang wajib.

b. Majelis Eropa untuk Fatwa dan Riset (The European Council For Fatwa and Research).
Dalam fatwa No. 7/30 (28 Maret 2020), sebagai jawaban atas pertanyaan tentang salat berjamaah dengan cara social distancing, lembaga ini menjawab:

“Pada kondisi seperti ini sebaiknya salat di masjid dihentikan sementara, dan dilaksanakan di rumah masing-masing. Salat berjamaah (di masjid) hukumnya sunnah muakkadah, sedangkan menjaga keselamatan jiwa manusia hukumnya wajib, sehingga mengutamakan perkara sunnah atas perkara wajib tidak tepat.

Salat dengan cara tersebut terkesan dipaksakan dan mempersulit perkara yang dimudahkan Allah, ia juga bertolak belakang dengan ruh/hikmah disyariatkannya salat berjamaah, menyalahi nas-nas yang memerintahkan untuk merapatkan saf dan melarang salat sendirian di belakang shaf.

Selain itu cara seperti ini tidak menjamin orang-orang terhindar dari virus menular, sebab mereka tetap bercampur saat masuk dan keluar, sujud di tempat yang sama, begitu pula saat membuka pintu. Masjid haruslah menjadi contoh kedisiplinan terhadap peraturan dan undang-undang, juga dalam kehati-hatian dalam melindungi jiwa manusia, bukan malah sebaliknya.”

Catatan: Fatwa ini tidak menyebutkan secara eksplisit hukum shalat dengan cara di atas. Namun dapat dipahami bahwa hukumnya sama dengan fatwa Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, yakni salatnya sah, namun tidak mendapat pahala salat berjamaah. Wallahu A’lam.

2. Salat tersebut sah dan tetap mendapat pahala salat berjamaah.
Di antara ulama kontemporer yang berpendapat bahwa salat seperti ini sah: Prof. DR. Khalid bin Ali al-Musyaiqih.

Dalam artikel yang berjudul Hukum-hukum Fikih Terkait Virus Corona (الأحكام الفقهية المتعلقة بفيروس كرورنا ), hal. 17, masalah fikih No. 17, tentang hukum shaf yang berjauhan dalam salat berjamaah, beliau menulis:

“Sunnah (tuntunan Rasulullah) bahwa shaf salat haruslah berdekatan, jarak antara satu shaf dengan shaf berikutnya adalah seukuran tempat sujud. Tetapi jika (berjauhan jarak) diperlukan karena khawatir terjangkit penyakit, maka berjauhan shaf tidak mengapa, walaupun seorang harus shalat sendiri di belakang shaf karena hajat (kebutuhan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berpendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib, tetapi jika dibutuhkan (untuk shalat sendiri) seperti jika shaf sudah penuh, maka shalatnya sah dan kewajiban sejajar dengan saf menjadi gugur.

Begitu pula -wallahu ‘alam- jika ia takut terjangkit penyakit, kemudian shalat sendirian di belakang shaf, maka shalatnya sah, meskipun pada asalnya berbaris di shaf hukumnya wajib, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Ali bin Syaiban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Tidak (sah) salat orang yang sendirian di belakang shaf.” (HR. Ahmad, dan yang lainnya).

Pendapat kedua ini sesuai pandangan jumhur ulama mazhab Syafii dan Hambali, dimana ulama Syafiiyah menganggap sah iqtida’ (bermakmum) kepada imam, sedang jarak antara keduanya 3 dzira’ (sekitar 1,5 meter), begitu juga jika jarak antara shaf pertama dan kedua dan seterusnya, atau antara seorang makmum dengan makmum lain di sebelah kanan atau kirinya, meski jarak antara mereka 3 dzira’ (sekitar 1,5 meter), batas maksimal jarak antara imam dan makmum, antara satu shaf dengan shaf yang lain, atau satu orang dengan yang lainnya disebutkan 300 dzira’ (sekitar 150 meter), dengan syarat makmum dapat melihat shalat imam atau mendengar suara takbirnya.

Semua dianggap sah dalam kondisi normal, apalagi jika ada uzur atau sebab tertentu yang memaksa jamaah saling mengambil jarak aman antara satu sama lain seperti saat penyebaran virus corona. Ini berkaitan dengan salah satu syarat berjamaah yang disebutkan dalam mazhab Syafii, yakni berkumpulnya imam dan makmum di satu masjid (tempat). Meski demikian, semua ulama sepakat bahwa salat berjamaah dengan shaf yang lurus dan rapat tentu lebih afdhal.

Imam ar-Rafi’i berkata: “Kapan saja imam dan makmum berada di satu masjid, maka iqtida’ (berimam kepadanya) sah, baik jarak antara keduanya berdekatan atau berjauhan dikarenakan luasnya masjid, sebab masjid didirikan untuk salat dan berjama’ah di dalamnya, semua yang berkumpul di dalamnya berkumpul untuk menegakkan jama’ah, maka jarak yang berjauhan tidak mempengaruhinya.” (Al-Aziz Syarh al-Wajiz, cet. Dar Kutub al-Ilmiyah, jilid II, hal. 177).

Imam Nawawi menambahkan syarat sahnya jamaah tersebut meski berjauhan jaraknya: “Jika ia (makmum) mengetahui salat imam, dan tidak berdiri di depannya.” (Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, cet. Dar al-Fikr, jilid IV, hal. 303).

Lebih rinci lagi, Imam Nawawi menyebutkan: “Dengan demikian, jika seorang (makmum) berdiri di sebelah kanan imam sejauh 300 dzira’ (sekitar 150 meter), makmum lain di sebelah kirinya dengan jarak yang sama, makmum lain di belakangnya dengan jarak seperti itu, kemudian di belakang atau di samping setiap makmum tersebut ada satu orang atau satu shaf dengan jarak yang sama, kemudian disambung oleh yang lain, demikian seterusnya, salat mereka semua sah, jika mereka mengetahui salat imam.” (Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, cet. Dar al-Fikr, jilid IV, hal. 305).

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali berkata: “Siapa saja yang berada di masjid boleh mengikuti (salat) imam, meski jarak keduanya berjauhan, sebab keseluruhan masjid adalah tempat untuk berjamaah, jika di antara keduanya ada penghalang sehingga imam tidak terlihat, dan ia tidak bisa mendengar takbir imam, maka tidak sah berimam dengannya, tetapi jika tidak melihat imam namun mendengar takbirnya maka ada dua pendapat (dalam madzhab), yang paling benar bahwa shalatnya sah.” (Al-Kafi, cet. Dar Kutub al-Ilmiyah, jilid I, hal 302).

Adapun pendapat pertama, yang menyatakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah hukumnya wajib, tetapi jika ada udzur yang menyebabkan seseorang tidak rapat dengan shaf, maka sejatinya shalat jamaahnya tetap sah.

Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Sesuai pendapat yang menyatakan meluruskan shaf hukumnya wajib, akan tetapi salat orang yang tidak meluruskan shaf tetaplah sah.” (Fath al-Bari, cet. Dar al-Ma’rifah, jilid II, hal. 210).

Ibnu Taimiah juga berkata: “Dan salat orang yang sendirian (di belakang shaf) karena sebuah udzur hukumnya sah, sama dengan pendapat Mazhab Hanafi, dan jika ia tidak mendapat tempat selain di belakang shaf, maka lebih afdhal ia salat sendirian, dan tidak menarik orang yang di depannya.” (Al-Fatawa al-Kubra, cet. Dar Kutub al-Ilmiyah, jilid V, hal. 348).

Pendapat ini menjadi lebih kuat karena jumhur ulama berpendapat bahwa merapatkan dan meluruskan shaf hukumnya sunnah/mustahab, bukan wajib.

Kesimpulan
Jika arahan untuk menyetop sementara Salat Jumat dan salat berjamaah di masjid masih sekadar imbauan, kemudian sebuah lembaga atau badan takmir masjid memilih tetap melaksanakan salat berjamaah di masjid dengan menerapkan cara social distancing, maka shalat jamaah mereka insya Allah tetap sah, sebagaimana pendapat kedua yang tersebut di atas.

Akan tetapi, menaati imbauan pihak berwenang baik pemerintah atau MUI lebih dianjurkan. Karena imbauan tersebut -meski belum diwajibkan- adalah demi maslahat masyarakat secara umum, dan imbauan dikeluarkan karena bahaya wabah corona sudah jelas adanya.

Keluarnya imbauan tersebut sudah cukup untuk menjadi uzur meninggalkan shalat berjamaah di masjid dan mengganti shalat Jumat dengan shalat Zhuhur empat rakaat. Apalagi jamaah yang tetap memilih shalat berjamaah di masjid disemprot disinfectant, mengenakan masker, dan menerapkan social distancing, semuanya dilakukan demi menjaga dan khawatir (takut) terkena wabah, dan rasa takut ini juga menjadi udzur tambahan untuk salat berjamaah di rumah.
Wallahu A’lam

Sumber dari: https://wahdah.or.id/hukum-shalat-berjamaah-di-masjid-dengan-shaf-renggang-karena-wabah/

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *