Hikmah Pagi: Melamakan Sujud Terakhir

Ilustrasi sujud lama

HAJINEWS.ID- Seorang jamaah di Nu Online bertanya apa hukumnya melamakan sujud terakhir dalam salat berjamaah. Sujud terakhir biasanya dilamakan karena ada doa-doa dipanjatkan. Namun hal ini akan menjadi soal jika salat berjamaah yang tidak semuanya faham.

Pada saat sujud, kita dianjurkan untuk banyak berdoa kepada Allah. Dengan memperbanyak doa itu, sujud kita menjadi tampak lama. Anjuran ini tercatat dalam beberapa kitab hadits sebagai berikut:

Bacaan Lainnya
banner 400x400

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Momentum terdekat seorang hamba dan Tuhannya adalah ketika sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa saat itu,’” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i).

Namun demikian, tindakan memperlama durasi sujud untuk diisi dengan banyak doa dipahami oleh ulama sebagai pemberlakuan pada saat salat sendiri atau shalat sunnah yang tidak disyariatkan berjamaah.

Adapun pada shalat berjamaah, imam dianjurkan untuk membaca surat-surat pendek Alquran dalam salat berjamaahnya dan tetap menyempurnakan rukuk, itidal, dan sujud melalui tuma’ninah serta bacaan yang dianjurkan sebagaimana lazimnya.

Keringanan shalat ini dipesan oleh Rasulullah untuk mereka yang mengimami di tengah banyak orang yang memiliki beragam kondisi pribadinya, mulai dari orangtua, orang lemah, orang sakit, atau orang yang memiliki keperluan lain.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِي النَّاسِ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ ، فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Bila salah seorang kamu mengimami orang banyak hendaknya ia meringangkan karena di tengah jamaah terdapat orang dhaif, orang sakit, dan orang yang berhajat (orang lansia pada lain riwayat). Tetapi jika ia melakukan salat sendiri, bolehlah ia melamakan shalat sesuai kehendaknya,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Pembahasan ini pernah diangkat oleh KHM Syafi’i Hadzami (Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 M) dalam kumpulan fatwanya, Kitab Taudhihul Adillah, juz II, yang kami kutip sebagai berikut:

“Memang sunnah hukumnya melamakan sujud untuk berdoa di dalamnya karena sujud itu adalah suatu keadaan yang terdekat seorang hamba kepada Tuhannya, tetapi tidak ada takhshish yang menentukannya pada sujud yang terakhir,” (KHM Syafi’I Hadzami, Taudhihul Adillah, [Kudus, Menara Kudus: 1982 M], juz II, 134-135).

“Akan tetapi bagi imam suatu kaum yang tidak terbatas, atau yang terbatas yang tidak diketahui keridhaan mereka untuk memanjangkan sembahyang, janganlah hendaknya imam melebihkan tasbih dalam sujudnya dari tiga kali, dan tidak sunnah menambahkan doa-doa apapun juga, bahkan hendaklah diperingannya sembahyang itu, untuk mera’ikan makmum yang lemah, yang sakit, yang tua, dan orang-orang yang mempunyai keperluan atau kerja yang mesti diselesaikannya, maka dalam hal ini disunnahkan bagi imam meringankan sembahyangnya,” (KHM Syafi’i Hadzami, 1982 M: II/135).

Pengamalan untuk memperbanyak doa di waktu sujud agak problematik untuk dipraktikkan dalam shalat berjamaah karena kondisi makmum berbeda-beda. Di samping itu, tidak semua makmum mengerti anjuran doa dan mengetahui bacaan doa apa saja sehingga dapat menimbulkan was-was di hati jamaah, baik diamalkan pada setiap sujud, sujud awal, maupun sujud terakhir.

Rasulullah sendiri ketika mengimami memperhatikan jamaah yang menjadi makmumnya agar tidak shalat dalam keadaan was-was karena imam melamakan salatnya atau salah satu bagian dari salatnya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَدْخُلُ الصَّلَاةَ أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأُخَفِّفُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ بِهِ

Artinya, “Dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh aku memasuki sebuah sembahyang, ingin melamakan sembahyang itu, tetapi aku mendengar tangisan anak kecil, lalu kuringankan sembahyang itu dari karena beratnya perasaan ibu Karen tangis tersebut,’” (HR Bukhari dan Muslim).

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb.   (Alhafiz Kurniawan/islam,nu.or.id).)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *