Membahagiakan

MEMBAHAGIAKAN

Oleh : Drs.H.Ahmad Zacky Siradj (Ketua Umum PBHMI 1981-1983)

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Papah sini ! panggil istri pada suaminya sambil melihatkan bingkisan yg baru saja diterimanya. Rasanya tidak pernah absen setiap tahun ia selalu saja memberi mukena, malah lebaran ini terkesan sekali, karena mukena pemberiannya itu, ada renda dipinggirannya dengan hiasan bunga melati indah. Alhamdulillah syukur ya Allah sangat membahagiankanku, hanya Tuhanlah yang dapat membalas membahagiakannya kembali. Do’a tulus kupanjatkan untuknya.

Hari-hari yang membahagiakan, walaupun, memang awalnya begitu menegangkan, saat menanti kelahiran anak ataupun kelahiran cucu, namun begitu lahir’ seperti tirai terbuka lebar, ah, mungkin tidak pas perumpamaan itu, yang dengan suara owa, owa, owa, ia menyapa dunia, sayup sampai terdengar suara adzan dan iqamah. Memang, sulit sekali mencari ungkapan kata sepadan untuk bisa mewakili perasan saat itu, tapi yang pasti, sungguh sangat membahagiakan. Seperti ada harapan yang melesat jauh kedepan, ternyata sebagai orang tua menyadari bahwa, usianya akan membentang jauh seakan semakin panjang, karena berlanjut, tersambung tanpa ujung, akan diteruskan oleh anak cucunya. Dalam suasana yang membahagiakan itu bergetarlah dalam lubuk hati yang paling dalam, do’a tulus penuh syukur, semoga anak-anak dan cucu-cucu ini menjadi anak-anak dan cucu-cucu yang shaleh dan shalehah. Sebab pada merekalah sesungguhnya sebagai salah satu investasi kebahagiaan bagi bekal dikeabadian.

Walaupun tidak setiap saat, setiap hari atau setiap bulan, saya berusaha untuk setahun sekali bila itupun memungkinkan, ya, di saat ramadhan dan idul fitri tiba, ingin sekali membahagiakan orang tua, walau mereka tidak mengharap apalagi meminta. Aku ingat ukuran kupiahnya ayah, aku beli kupiah sekalian kerudung buat ibu, ku persembahkan malam jelang esok hari raya, kesokannya begitu terharunya aku kala memperhatikan ayah dan ibu mengenakan apa yang telah aku berikan, dan ada suatu perasaan seperti bangga bercampur bahagia da syukur, mungkin hadirnya perasaan ini karena tercapainya hasratku, membahagiakan kedua orang tua.

Disaat pembahasan undang-undang dasar oleh para pendiri bangsa terbetik berita, ada salah seorang pendiri bangsa yang berpandangan bahwa negara ini didirikan tiada lain adalah agar rakyat hidup bahagia, jadi apa yang dirumuskan sebagai ketentuan aturan-aturan bernegara muaranya untuk membahagiakan rakyat, masyarakat bangsa ini sebagai warga negaranya sendiri. Ini berarti bahwa kehadiran negara ini adalah untuk membahagiakan rakyatnya, sekali lagi, membahagiakan rakyatnya. Kemudian pula di awal pendirian itu terlontar pendapat perlu ada pengurus yang tugasnya mengurus negara ini untuk dapat mengusahakan bagaimana negara ini agar dapat membahagian seluruh rakyatnya.
Kiranya membahagiakan ini kemudian diturunkan kepada formulasi tujuan negara agar terukur pencapaiannya, seiring untuk merinci program kegiatan yang hendak dilaksanakannya. Sebagaimana yang termaktub pada pembukaan undang-undang dasar yaitu; merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Seluruh rakyat hendaknya terlibat dalam mengukur capaian tersebut. Tentang merdeka misalnya terjaminkah kemerdekaan mimbar di kampus..? Tentang bersatu, apa sudah terawat persatuan dan kesatuan bangsa ini, tidak lagi ada gerakan separatis bersenjata yang ingin memisahkan diri dari republik ini..? Tentang berdaulat misalnya, apakah bangsa ini sudah berdaulat dalam pangan, dalam teknologi..? Tentang adil, apakah keadilan telah terwujud, dimana hukum tidak lagi tajam kebawah tumpul keatas…? Tentang makmur, apakah rakyat ini sudah dapat menikmati kekayaan alam tanah airnya, tidak ada lagi kesenjangan yang sangat melebar antara kaum kaya dan kaum miskin, dan padahal semua kita tahu bahwa seluruh kekayaan alam itu dikuasai negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Jika kita teliti lebih dalam maka kehadiran agama (din) bukan hanya tergambarkan dalam nilai palsafah bangsa ketuhanan yang maha esa, beriman pada Tuhan yang Esa (huwallahu ahad), tapi juga menjanjikan kehidupan yang membahagiakan (la’allakum tuflihun) bagi ummat manusia, para ummat penganutnya, kendati sejarah mencatat, bagaimana perjuangan para Rasul dan Nabi itu penuh onak dan duri yang senantiasa mengancam hidupnya, yang menghambat missi risalahnya, yang menghalangi kibaran panji da’wahnya. Sehingga bagi penganut agama yang pasrah menaati butiran-butiran kebenaran ajarannya, melaksanakan apa yang diperintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, bukan sekedar merupakan pendakian spritual, atau sampai pada puncak moralitas ilahiyah yang suci dan luhur (la’allakum tattaqun). Namun seluruh pengorbanannya, bagi ummat yang yakin atas kebenaran ajaran yang diyakininya, itulah puncak-puncak yang membahagiakan, baik kala di dunia maupun nanti di keabadian (fidunya hasanah wa fil akhirati hasah). Wa Allahu a’lam (aza, 162020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *