Istinsyaq Dalam Wudhu

Ilustrasi : Berwudhu
banner 400x400

Istinsyaq Dalam Wudhu

Bismillaah, afwan apakah hukumnya istinsyaq dalam berwudhu ? Saat saya berwudhu sebelah hidung tersumbat sehingga air hanya terhirup di satu lubang dan lubang satunya tidak terhirup disebabkan hidung tersumbat. Apakah wudhu saya sah ? Tapi saat selesai salat hidung saya sudah kembali normal apakah wudhu dan salat harus saya ulang?

Bacaan Lainnya
banner 400x400

الحمد لله والصلاة والسلام على من لا نبي بعده

Menurut pendapat yang kuat wallahu ta’ala a’lam istinsyaq (memasukkan air ke hidung) saat berwudhu’ hukumnya wajib, berdasarkan perbuatan dan perintah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من توضأ فليستنثر

“Barangsiapa berwudhu’ hendaklah beristinsyar (mengeluarkan air dari hidung setelah memasukkannya).” (H.R AlBukhari dan Muslim)

Dan berdasarkan sabda beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam:

من توضأ فليستنشق

“Barangsiapa berwudhu’ hendaklah ia beristinsyaq.”

Namun apabila ada udzur syar’i yang membuat seseorang tidak mampu melakukannya maka di lubang hidung yang tersumbat itu bisa dibersihkan dengan jari sebisa mungkin

Dalil syar’i untuk itu adalah dua kaidah fikih yang bersifat umum, yang didasari oleh puluhan nashnash syar’i dari Al Qur’an dan sunnah yang shahih.

Kaidah pertama:

” المشقة تجلب التيسير “

“Setiap kesulitan mendatangan kemudahan”.

Yang menjadi dalil dari kaidah ini adalah firman Allah –Ta’ala:

  لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al Baqarah: 286)

Kaidah kedua:

  الميسور لا يسقط بالمعسور

“Sesuatu yang mudah itu tidak bisa gugur dengan sesuatu yang sulit”.

Yang menjadi dalil dari kaidah ini adalah firman Allah –Ta’ala:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (QS. At Taghabun: 16)

Keduanya merupakan kaidah agung yang dinyatakan oleh para ulama: “Kaidah tersebut termasuk ushul yang menyebar dan tidak pernah terlupakan yang menjadi tumpuan ushul syari’ah”. (Al Asybah wa Nadzoir karya Imam Suyuthi: 293)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah berkata:

“Syari’at ini penuh dengan perbuatan yang diperintahkan disyaratkan dengan adanya kemampuan, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umran bin Hushain:

  صَلِّ قَائِمًا ، فَإِن لَم تَستَطِع فَقَاعِدًا ، فَإِن لَم تَستَطِع فَعَلَى جَنبٍ

“Salatlah dengan berdiri, jika anda tidak bisa maka dengan duduk, dan jika anda tidak bisa maka dengan berbaring dengan miring”. (HR. Bukhori: 1117)

Umat Islam telah bersepakat bahwa jika tidak mampu melaksanakan sebagian yang diwajibkan –seperti berdiri, membaca, rukuk, sujud, menutup aurat, menghadap kiblat, atau yang lainnya maka menjadi gugur baginya apa yang tidak mampu dilakukan. Yang menjadi kewajibannya adalah yang dia ingin lakukan dengan keinginan yang kuat dan memungkinkan untuk dikerjakan. Bahkan termasuk yang sebaiknya diketahui bahwa syarat kemampuan yang disyariatkan dalam perintah dan larangan tidak cukup bagi pembuat syari’at hanya dengan kemampuan meskipun dengan bahaya, akan tetapi kapan saja seorang hamba mampu mengerjakan amal disertai adanya bahaya yang akan menyertainya, maka ia seperti orang yang tidak mampu melakukannya dalam banyak hal di dalam syari’at, seperti bersuci dengan air, puasa dalam kondisi sakit, berdiri dalam Salat, dan lain sebagainya demi mewujudkan firman Allah –Ta’ala:

  يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ اليُسرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ العُسرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.  (QS. Al Baqarah: 185)

Dan firman Allah –Ta’ala:

  مَا جَعَلَ عَلَيكُم فِي الدِّينِ مِن حَرَجٍ

“Dia sekalikali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al Hajj: 78)

Firman Allah –Ta’ala lainnya:

  مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجعَلَ عَلَيكُم مِن حَرَجٍ

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu”. (QS. Al Maidah: 06)

Dan di dalam kitab Shahih dari Anas dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثتُم مُيَسِّرِينَ وَلَم تُبعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“Sungguh kalian telah diutus untuk mempermudah dan tidak diutus untuk mempersulit”.

(Ringkasan dari Majmu’ Fatawa: 8/438 – 439)

Dengan demikian bila itu sudah dilakukan saat penanya berwudhu maka insya Allah wudhunya sah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *