Pendidikan Kelas Dunia

Pendidikan Kelas Dunia

Oleh : Prof. Dr.Ing. Fahmi Amhar, Anggota Dewan Penasehat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Tanggal 3 Juli 2020 lalu ITB memperingati 100 tahun berdirinya. Itu juga berarti 100 tahun pendidikan teknik di Indonesia. ITB adalah kampus teknik pertama dan terdepan di Indonesia. Namun memang usia tua tidak selalu lebih unggul dari yang lebih muda. Saat ini rangking ITB ada di bawah Nanyang Technological University (NTU) Singapura yang baru 34 tahun.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun ajaran baru. Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke penduduk baru 6%, menjadi sarjana masih cita-cita banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke strata sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

Namun tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu. Karena itu, informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah dia memiliki bakat yang dibutuhkan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu. Ini karena perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari manca negara. Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, misalnya oleh Times Higher Education (THES). Aspek penilaian lainnya adalah jumlah jurnal internasional yang dihasilkan, persepsi dan penyerapan di dunia kerja, dan kualitas sarana-prasarana pendidikan seperti jumlah & kualitas dosen dan laboratorium.

Para pemeringkat itu kemudian membuat ranking perguruan tinggi sedunia. Terang saja, mayoritas dari 100 perguruan tinggi top dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia. Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?

Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi ada di Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Di luar Daulah Islam paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Byzantium, di Kaifeng ibu kota China atau di Nalanda, India. Di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi. Dan benua Amerika belum ditemukan.

Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Universitas tertua di Itali adalah Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.

Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus ini dibangun tahun 245 H/ 859 M. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat, termasuk Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.

Universitas kedua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas waktu itu yang paling terkenal adalah hukum Islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat, dan Logika (Matematika).

Ketika pasukan Mongol menghancurkan Baghdad tahun 1258 M, Al Azhar mernjadi alternatif utama pusat pendidikan bagi para intelektual muslim. Merekalah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat. Wakafnya pun ada yang berupa kebun produktif, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya. Al Azhar juga menghasilkan banyak ulama yang kemudian menjadi pelopor perjuangan melawan penjajahan di berbagai negeri. Mereka mendirikan pendidikan alternatif terhadap sekolah-sekolah yang didikte pemerintah kolonial. Di Indonesia, pendidikan alternatif ini disebut pesantren.

Sayangnya dari sisi sains dan teknologi modern, Al-Azhar tidak lagi memimpin di dunia. Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita perluas standar yang ditetapkan Barat dengan Islam. Islam memiliki gambaran yang jelas, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh pendidikannya. Mereka tak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam beramar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

Kita merindukan sosok seperti Kasim Arifin. Mahasiswa IPB asal Aceh ini tahun 1964 dikirim ke Waimital Pulau Seram untuk semacam Kuliah Kerja Nyata. Dia ternyata “tertinggal” di sana hingga 15 tahun kemudian karena ingin membaktikan semua ilmu yang dipelajarinya. Waimital kemudian menjadi desa termakmur di Maluku. Tahun 1979 Rektor IPB sampai mengirim utusan khusus untuk menjemput Kasim dan “memaksanya” mau diwisuda, agar menjadi inspirasi seluruh civitas academica.

Sayang sosok seperti Kasim ini, yang lebih berharap dikenal di langit daripada di dunia, tampak seperti outlier dalam pendidikan nasional saat ini. Dia belum merupakan produk yang standar dalam pendidikan saat ini.

Produk pendidikan kelas dunia versi Islam tampak jelas dalam sejarah Islam. Produk itu tak cuma menghasilkan ulama-ulama mujtahid, namun juga para jenderal mujahid, para politisi ulung, para saudagar dermawan, dan para ilmuwan inovatif. Metode Rasulullah dalam mendidik umat sehingga menghasilkan lompatan peradaban juga jelas. Istilahnya “ontologi” dan “epistemologi” Islam itu jelas. Tinggal dukungan politik Islamnya, kapan jelas?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *