Menghubungkan

banner 400x400

Menghubungkan

Oleh : Drs.H.Ahmad Zacky Siradj/Ketua Umum IKALUIN/Ketua Umum PBHMI 1981-1983.

Suatu malam, lepas shalat maghrib, rame-rame kami pergi nonton film ke ciputat, berjalan kaki memang, karena relatif dekat hanya sekitar dua hingga tiga kilometeran jarak yang menghubungkan kampus dengan bioskop itu, yang laki bawa sarung untuk menutupi wajah sekedar menyisakan mata untuk melototin film yang perempuan pakai kerudung rapat, saat itu para mahasiswi belum mengenakan jilbab seperti yang nampak sekarang, ikhtiar ini ditempuh agar tidak ketahuan terlihat terpergok dosen, sebab dosen pun suka nonton di bioskop yang sama di ciputat itu. Sekali ketahuan jelas nilai ujian akan melorot, dosen tidak lagi menghiraukan jawaban, sehingga dikenal saat itu sebutan dosen “killer”.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Tapi sesungguhnya nonton bareng rame-rame ini terkandung maksud untuk bagaimana menghubungkan senior dengan gadis incaran pujaannya yang masing-masing masih malu malu kucing. Sebelum film berakhir kita-kita permisi secara bergiliran pada senior itu dengan alasan hanya mau kekamar kecil padahal langsung pulang dan akhirnya terpaksalah senior pulang berduaan dengan pacar yang diidamkannya. Setahun dua tahun berjalan kemudian mereka menikah, sekarang sudah mempunyai dikaruniai anak cucu, tetapi senior yang prianya telah berpulang duluan kerahmatullah, Allahu yarham…

Menghubungkan kabel listrik bukan sekedar pekerjaan petugas perusahaan listrik negara, tapi umumnya masyarakat sepertinya telah mahir menghubungkannya, sehingga pembuatan instalasi listrik dirumah-rumah yang baru sedang dibangun sekarang ini telah dilakukan dibuat oleh tukang tembok tukang bangunan kayu, yang tentu saja mereka itu relatif mahir mengerjakan insralasi listrik ini karena mungkin belajar dari pengalaman. Ternyata memang keahlian dalam suatu bidang pekerjaan dapat menghubungkan dengan pekerjaan lain, malah tidak sedikit pekerjaan yang awal di tinggalkannya dan menggeluti bidang pekerjaannya yang baru, tadinya kerja di bengkel motor tapi sekarang ia menjadi tukang bangunan malah piawai pula membuat desain rumah dalam berbai type ukurannya. Begitu pula seorang pedagang yang tadinya hanya pedagan kelontongan, dipasar lingkungan, tapi karena aktif berorganisasi sekarang membuka kantor konsultan lantas sebagai pedagang kelontongannya kemudian ditinggal, malah jongko yang setia menemaninya bertahun-tahun ia lepas dijual pada tenannya.

Demikian pula menghubungkan da’wah dengan keahlian bertani. Memang ia itu jebolan pesantren bahkan sempat dipesantrennya itu sebagai lurah santri atau istilah kerennya assisten kiyai. Jadi bila kiyai berhalangan dialah yang menggantikan baik ngawuruk atau ngajarir kitab pada santri, juga mengisi pengajian rutin kiyai di berbagai tempat. Setelah selesai mesantren pulang kampung langsung ia bertani karena ada tanah warisan peninggalan orang tuanya, seiring pula guna menyambung kehidupannya. Sebulan dua bulan terus berjalan, kendati dengan keluarga dekat telah terjalin hubungan erat namun dengan masyarakat sekitar belum begitu dekat, mungkin juga ketika mesantren jarang pulang sehingga masyarakat sekitar menyikapi biasa-biasa saja. Namun ketika anggota keluarganya ada yang mantu dia diminta untuk menyambut calon pria sekaligus memberi nasihat perkawinan, baru masyarakat mengenalnya malah langsung menjadikan tokoh agama dikampungnya karena ternyata ia memiliki pengetahuan keagamaan yang mumpuni.

Menjadilah da’i yang sering diundang dari kampung ke kampung melintas desa malah melintas kabupaten, ia sangat faham bahwa masyarakat telah menganut faham keagamaan masing-masing terutama dalam masalah cabang-cabang kecil dari peribadatan (furuiyah), disinilah ia berda’wah sesuai dengan karakter pemahaman keagamaan masyarakatnya, malah memperkuatnya agar semakin kukuh pendiriannya, sehingga tidak menimbulkan kontroversi, ibarat menanam jenis tanaman menghubungkannya dengan kondisi tanahnya, begitu pula berda’wah hendaknya menghubungkan materi yang akan disampaikan dengan pemahaman masyarakatnya. Selain tentu saja secara umum menghubukannya dengan karakter agama yang sifatnya universal, inklusif yang memberi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin), seiring meletakan misi perjuangan agamanya pada sikap budaya yang terpuji akhlaqul karimah (innama buisttu li utammima makarimal akhlaq).

Menghubungkan silaturami sepertinya juga telah akrab, telah menjadi ungkapan yang sudah lazim terdengar, malah dalam pergaulan keseharianpun ungkapan ini begitu populernya, menyambung atau menghubungkan silatutahmi dengan orang tua, dengan karib kerabat, handai taulan, dengan teman-teman jauh, lintas kota provinsi maupun negara, kendati jarak jauh di tempuh lewat udara atau on line, tapi pembicaraan itu bisa panjang dan memakan waktu yang begitu lama. Menghubungkan mengakrabkan kembali hubungan yang telah dianggap usang karena lama sudah, jejak cinta kasih yang telah beditu lama karam, persahabatan yang pernah terjalin begitu lama yang sebelumnya tiada terdengar berita. Malah kita nengetahui bahwa menyambung kasih sayang dengan penuh kesadaraan keimanan berarti menyambungkan kasih ilahi diantara sesama, karena rasa kasih sayang yang ada pada diri kita tidak lain adalah karunia Tuhan, sehingga menghubungkan kasih sayang (wa tasilur rahim) merupakan refleksi dari keimanan kita, itulah mungkin kenapa kemudian silaturahmi dapat mengukuhkan merawat keimanan kita untuk dapat selalu dekat dengan-Nya hingga dikeabadian nanti. (tasa aluna bihi wal arham innallaha ‘alaikum rakiba). Wa Allahu a’lam (2172020).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *