KAMI Mengoreksi Sistem Sosial Budaya

KAMI Mengoreksi Sistem Sosial Budaya

KAMI Mengoreksi Sistem Sosial Budaya

Oleh : Abdullah Hehamahua

Tanggal keramat itu, 18 Agustus 1945. Pengesahan UUD 45 dan pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Belum NKRI. Tanggal 3 April 1950, NKRI baru dikenal atas mosi integral Mohammad Natsir, Ketua Partai Masyumi.

Di tanggal yang sama, 18 Agustus tetapi tahun yang berbeda, yakni tahun 2020.
Di tempat yang sama, 75 tahun kemudian, diproklamirkan kemerdekaan kedua Indonesia.

Merdeka dari penjajahan modern, baik di bidang Ekonomi, Politik, Sosial Budaya, Hukum & HAM, maupun Sumber Daya Alam.
Inilah yang dikenal dengan Maklumat Menyelamatkan Indonesia oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Jum’at lalu, saya komunikasikan maklumat kedua, KAMI Mengoreksi Politik Kekuasaan dan Pengusaha.
Hari ini, saya komunikasikan maklumat ketiga mengenai Sosial Budaya.

Indonesia dan Multi Krisis.
“Mutu Pendidikan yang sangat buruk dan tidak memiliki rencana strategik jangka panjang. Terbukti tidak memiliki prestasi yang membanggakan.

Hal ini ditandai, antara lain, pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) yang lamban urutan 111 pada tahun 2019.
Masa lama belajar rata-rata baru kelas 2 SMP, global competitiveness index masih urutan 50, di bawah beberapa negara Asean).
”Ini sebagian dari alinea pertama Maklumat KAMI”.

Awal alinea kedua, KAMI menulis: “Walaupun anggaran pendidikan telah ditetapkan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, Pemerintah tidak mampu merealisasikannya.

Sebagai akibatnya, akses pendidikan bermutu tidak dicapai secara merata dan masif di seluruh daerah.

Pada masa pandemi Covid-19 ini, umumnya mahasiswa kesulitan membayar uang kuliah, sementara Pemerintah sangat minim memberikan bantuan kepada mahasiswa dan perguruan tinggi swasta.”

Saya pernah menjadi guru SMA di Makassar dan Selangor, Malaysia serta sebagai dosen di Singapura.
Saya sekarang masih menjadi dosen di salah satu universitas di Sumsel. Semuanya swasta. Jadi saya paham betul kritikan KAMI di atas.
Saya lalu berasumsi, pendidikan nasional kita, jauh dari berhasil. Indikatornya, terjadi empat krisis di bawah ini yang maha dahsyat:

1. Krisis Korupsi.
Dari 1.152 koruptor yang ditangkap KPK (2004 – 2019), 86% di antara mereka adalah sarjana.
Ada S1, S2, S3, bahkan professor.
Tragisnya, 43% kasus korupsi yang ditangani KPK adalah pengadaan barang dan jasa. Padahal, 35% dari APBN setiap tahun adalah untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Jika, APBN-nya, Rp. 2.000 triliun, berarti uang yang dikorupsi adalah 0,43 x 0,35 x Rp. 2.000 triliun = Rp. 301 milyar.

Wajar, rakyat kecil tidak menikmati APBN yang besar tersebut karena dikorup oleh para pejabat yang tidak berintegritas dan pengusaha hitam.

Namun, korupsi mega (bukan megawati) selama 75 tahun adalah kasus Joko Chandra. Sebab, ia melibatkan semua lembaga penegak hukum, kecuali KPK.

Bahkan diduga, ia juga menyerempet istana karena mereka pernah bertemu kakak Joko Chandra di Papua Nugini.

2. Krisis Narkoba
BNN menyebutkan, ada 3,6 juta pengguna narkoba (2019) yang melibatkan anak-anak berusia 10 tahun sampai dengan orang dewasa (59 tahun).

Ada anggota legislatif, kepala daerah, pejabat partai, kepala dinas, bahkan pimpinan Lembaga Negara, ditangkap karena menggunakan narkoba. Tragisnya, 2,29 juta pelajar sudah menggunakan narkoba (2018).

Indonesia sudah masuk darurat narkoba dikarenakan 2,2% penduduknya terkontaminasi narkoba. Padahal, best practises di dunia, suatu negara disebut krisis narkoba jika dua persen penduduknya terkontaminasi barang haram tersebut.

Dahsyatnya lagi, di negeri ini, setiap hari ada 37- 40 orang meninggal dunia, akibat dampak penggunaan narkoba.

China, negara sahabat penguasa hari ini merupakan penyumplai sabu-sabu terbesar ke Indonesia.

3. Krisis Keluarga.
Data BPS menyebutkan, di antara tahun 2015 – 2017, setiap lima pernikahan, terjadi satu perceraian, setara 20%. Dahsyat.! Tragisnya, menurut data MA, 73% perceraian pada tahun 2018 berupa gugatan cerai dari isteri.

Maknanya, Kementerian Agama, MUI, dan khususnya pendidikan nasional gagal melahirkan calon-calon suami serta isteri yang saleh dan salehah.

Apalagi, data-data dari Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kemenkes (2013) menyebutkan,
sekitar 62,7% remaja telah melakukan hubungan seks di luar nikah. 20% dari 94.270 yang hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21% di antaranya pernah melakukan aborsi.

4. Krisis Penegakkan Hukum.
PBB pada tahun ini mengumumkan 10 negara paling bahagia di dunia. Tidak ada satu pun negara di Asia dan Afrika yang masuk dalam 10 negara tersebut. Negara-negara tersebut adalah Finlandia, Denmark, Swiss, Islandia, Norwegia, Belanda, Swedia, Selandia Baru, Austria, dan Luksemburg.

Kriteria menjadi negara bahagia adalah: pendapatan per kapita, dukungan sosial, usia harapan hidup, kebebasan menentukan pilihan hidup, kedermawanan dan indeks persepsi korupsi.

Memperhatikan kriteria tersebut, wajar jika Indonesia menempati rangking 92 dari 159 negara di dunia. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia di bawah Singapura (35), Philipina (69), dan Malaysia (80).

Kelemahan utama Indonesia adalah penegakkan hukum yang cukup parah. Bahasa milenial, “pedang penegak hukum Indonesia tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas”.

Kasus-kasus yang menjadikan terpuruknya Indonesia dalam penegakkan hukum antara lain: BLBI, Century, e-KTP, rumah sakit Sumber Waras, bus transjakarta, buku merah, Meikarta, BPJS, Jiwasraya, UU Minerba, Perppu virus China, RUU Omnibus Law, dan UU KPK.

Jika dalam sehari dua ini, KPK bisa menangkap Harun Masiku, mungkin ada sedikit harapan untuk masyarakat pulih kepercayaan terhadap pemerintah.

Penyebab Suramnya Pendidikan Nasional

Sebagai dosen dan guru, saya mengamati dan menyimak proses pendidikan nasional kita. Dugaan kuat, suramnya pendidikan nasional disebabkan silabi, kurikulum, metode, dan target pendidikan tidak sejalan dengan UUD 45.

Sebab, pasal 29 ayat 1 UUD 45 mengatakan, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Maknanya, silabi pendidikan nasional adalah Tauhid, Aqidah, yakni mengesakan Tuhan, Allah SWT.
Hal ini dipertegas dalam awal alinea ketiga Mukadimah UUD 45: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” Maknanya, pendidik, anak didik, dan tenaga kependidikan di semua tingkat pendidikan harus berangkat bersama dan menuju Allah SWT.

Itulah hakikat sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pendidikan yang dilakukan pemerintah selama ini, jauh dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa di mana Kepala Sekolah diperintahkan agar murid-murid lulus 100%. Aplikasinya, Kepala Sekolah, guru, pengawas, dan orang tua mengajarkan anak untuk korupsi ketika ulangan umum atau ujian akhir.

Wajar jika 86% koruptor yang ditangkap KPK adalah sarjana, bahkan professor.

Sebelum terlambat, semua pihak segera kembali ke pangkal jalan, bersama KAMI.

KAMI dan Solusi Silabi pendidikan nasional. Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut harus diturunkan dalam bentuk kurikulum pendidikan nasional.

Utamanya yakni: Aqidah, Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan ilmu hitung.

Empat kurikulum dasar itulah yang melahirkan pelbagai disiplin ilmu, baik tentang: Pendidikan & Pengajaran; Politik & Pemerintahan; Ekonomi, Perdagangan & Keuangan; Hukum & HAM, Sosial Budaya, Sejarah & Antropologi, Pertanian & Kehutanan, Peternakan & Perikanan, Kelautan & Kemaritiman, Kesehatan & Keluarga, Kemiliteran & Pertahanan Negara dan Hubungan Internasional.

Kurikulum hendaknya disusun secara integrasi dan diajarkan dengan metode “kalam” di mana rumah merupakan pusat pendidikan.

Sekolah berupa kelas, hanyalah salah satu bentuk pendidikan yang bersifat alternative pilihan bagi anak didik, bukan suatu kewajiban.

Kurikulum dan metode pendidikan tersebut akan efektif dan efisien jika target pendidikan nasional, bukan kelulusan, tetapi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku karimah.

KAMI harus siap membaiki sistem pendidikan nasional menyambut Indonesia berkah tahun 2045. Inshaa Allah !

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *