Agama Itu Inspirasi, Aspirasi Dan Pasangan Politik Yang Serasi

Agama Itu Inspirasi, Aspirasi Dan Pasangan Politik Yang Serasi
Yaqut Cholil Qoumas

Oleh: Puspita Satyawati

HajinewsYaqut Cholil Qoumas dalam sambutan pengangkatannya sebagai Menteri Agama (Menag) yang disiarkan YouTube Setpres, Selasa (22/12/2020), menyampaikan bahwa setelah nanti resmi menjadi Menag yang pertama ingin dilakukan adalah bagaimana menjadikan agama itu sebagai inspirasi, bukan aspirasi.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Artinya, agama sebisa mungkin tidak lagi digunakan menjadi alat politik baik untuk menentang pemerintah maupun merebut kekuasaan, atau mungkin untuk tujuan lain.
Agama biar menjadi inspirasi dan biarkan agama itu membawa nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” imbuhnya (detik.com, 22/12/2020).Dari penyampaian Bapak Menag baru ini, saya tergelitik ingin memberikan tanggapan. Pendapat beliau menginspirasi saya untuk menyampaikan aspirasi. Sebagai warganegara, bolehkan?

1. Agama itu inspirasi.

Ya, tentu tak ada orang yang tak menyepakatinya. Terlebih kaum beragama. Hanya pemilik prinsip agama sebagai candu sajalah yang menolak pendapat Pak Yaqut.

Sebagai muslim, jelas Islam telah memberikan inspirasi dahsyat tentang bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Tak hanya unruk hidup hari ini di dunia, pun kelak di akhirat sana. Maka, tak hanya inspiratif, Islam juga visioner.

Pun tak hanya sebagai inspirasi. Sejatinya Islam adalah petunjuk (aturan) dari Allah Swt yang diturunkan melalui sosok Rasulullah Saw yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Mencakup hubungan manusia dengan Allah, dirinya sendiri dan manusia lainnya.

Inilah keunikan Islam dibanding ajaran lain. Islam bersifat syamil wa kamil. Aturannya menyeluruh dan sempurna. Dari bangun tidur, bangun keluarga, hingga bangun negara. Semua ada.

Saat seorang hamba berhubungan dengan Allah, Islam sediakan aturan tentang akidah dan ibadah. Ketika mengatur dirinya sendiri, ada aturan tentang makanan, pakaian dan akhlakul karimah. Kala berinteraksi dengan sesamanya, Islam memberikan aturan kemasyarakatan (ipoleksosbudhankam) dan sanksi. Begitu lengkap. Maa syaa Allah.

2. Agama bukan aspirasi.

Benarkah agama bukan aspirasi? Dalam KBBI, aspirasi dimaknai harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang.

Jika demikian, Islam tentu ajaran yang berisi aspirasi. Mengandung harapan dan mengajarkan tujuan bagi pemeluknya untuk keberhasilan hidup dunia akhirat.

Pun, saat mendalami praktik penerapan Islam pada masa Rasulullah Saw dan Sahabat, serta khalifah-khalifah setelahnya, kekuasaan Islam membuka ruang bagi warganegara menyampaikan aspirasinya. Berupa harapan, keinginan, masukan, bahkan yang bernada kritikan dari rakyat terhadap pemimpinnya.

Ini bukanlah hal tabu dalam fragmen kekuasaan Islam. Sesuatu yang sulit ditemui dalam model kekuasaan represif saat ini, ketika kritik dimaknai sebagai anti loyal dan permusuhan.

Cukuplah kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang “mengalah” terhadap kritik seorang wanita lantas meralat kebijakannya yang membatasi jumlah mahar, sebagai contoh bahwa Islam adalah ajaran aspiratif.

Begitu indah fragmen hubungan pemimpin dan rakyat dalam sistem Islam. Pemimpin yang begitu legawa menerima kritikan dari rakyatnya. Tanpa gengsi, Umar mengakui kebenaran ucapan wanita tersebut di depan muka umum. Dan sebagai rakyat, wanita tersebut telah melakukan kewajiban meluruskan kekeliruan pemimpinnya.

3. Agama tidak digunakan sebagai alat politik untuk menentang pemerintah, merebut kekuasaan dan tujuan lain.

Agama memang tidak layak digunakan sebagai alat politik praktis. Yaitu berlindung di balik agama sekadar mendapatkan kekuasaan atau jabatan. Namun, memisahkan agama dari politik (kekuasaan) adalah perilaku tak patut. Terlebih dilakukan oleh seorang muslim. Memisahkan keduanya adalah praktik sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan, dari kekuasaan).

Sementara Imam al-Ghazali berkata, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yg tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yg tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.” (al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 199).

Dalam Islam, kekuasaan ditegakkan demi menerapkan ajaran Islam. Kalimatnya Allah Swt. Bukan kekuasaan demi berkuasa itu sendiri.

Ketika kekuasaan dijalankan tidak berdasar aturan Allah, tidak menerapkan hukum-Nya, bahkan menyingkirkan agama-Nya dari berbagai kebijakan, lantas ada kelompok rakyat yang mengingatkan dengan ayat-ayat Allah, apakah lantas mereka layak disebut mempolitisasi agama?

Pun, apakah kelompok umat Islam yang menghendaki penerapan hukum Allah secara kafah dan mendakwahkannya sebagai solusi carut-marutnya kepemimpinan sekuler saat ini, lantas pantas dicap menggunakan agama sebagai alat politik? Dianggap menggunakan agama untuk menentang pemerintah?

Jika penguasa telah nampak kezalimannya, apakah tidak boleh menasihati atau memberikan kritisi? Bukankah kritik adalah salah satu penyeimbang, agar kapal negeri ini kian tak karam di dasar lautan?

Jika orang yang paham agama tak boleh menyampaikan aspirasinya, tak boleh mewarnai politik dengan agama, lantas maunya berpolitik ala apa dan siapa?

Bukankah sebagai muslim, teladan utama dalam hal apapun adalah Rasulullah SAW? Beliau juga mempraktikkan politik berbasis agama Islam saat membangun masyarakat di Madinah. Apakah berani kita mengatakan beliau telah menjadikan agama sebagai alat politik? Pak, jika yang panjenengan dambakan agama membawa nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka jadikan agama (Islam) sebagai inspirasi, aspirasi dan asas politik.. In syaa Allah negeri ini akan menjelma menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Wallaahu a’lam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan