MAKI Gugat Lagi Kasus Lahan Cengkareng Era Ahok, KPK Diminta Ambil Alih

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sebelum wawancara khusus dengan Tribun Network di Jakarta, Jumat (28/8/2020). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Hajinews — Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) kembali menggugat terkait mangkraknya penanganan korupsi pengadaan lahan Cengkareng oleh Pemprov DKI Jakarta era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Gugatan praperadilan ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya sebagai termohon I, Kajati DKI Jakarta termohon II, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) termohon III, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termohon IV.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Hari ini, Senin, 22 Januari 2021, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, agenda sidang perdana, gugatan praperadilan MAKI lawan Kapolda Metro Jaya dan KPK,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat keterangan tertulis sebagaimana dilansir Tribunnews, Senin (22/2/2021).

Boyamin mengatakan, sebelumnya gugatan praperadilan serupa juga telah dilayangkan, tetapi hakim menolak gugatan tersebut.

“Selama kasus masih mangkrak maka gugatan praperadilan tidak akan pernah berhenti. Gugatan ini adalah yang keempat. Dalam kasus lain, gugatan praperadilan korupsi bank Century baru dikabulkan setelah gugatan keenam,” cetusnya.

Menurut dia, gugatan praperadilan ini sejalan dengan kehendak Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran yang pernah menyatakan akan menuntaskan perkara mangkrak.

Boyamin menjelaskan alasannya mengajukan gugatan itu karena pada sekitar 2015, Dinas Perumahan dan Gedung Perkantoran Provinsi DKI Jakarta melakukan pembelian lahan seluas 46 hektare yang direncanakan untuk pembangunan rumah susun, dengan harga Rp668 miliar dengan dana yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta.

Kemudian berdasarkan audit BPK dalam LHP keuangan Pemprov DKI tahun 2015, lahan yang dibeli Pemprov DKI Jakarta tersebut ternyata tercatat sebagai aset milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau dengan kata lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan dana yang bersumber dari dana APBD untuk membeli tanahnya sendiri, namun uang dari dana APBD tersebut diberikan kepada pihak lain.

Selanjutnya kasus tersebut ditangani Bareskrim Polri dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Agung pada 29 Juni 2016, tetapi tak disertai nama tersangkanya.

Kemudian kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.

Akan tetapi, Boyamin menyebut hingga permohonan a quo diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak terdapat tersangka dari baik dari penyidikan yang dilakukan Bareskrim Polri maupun penyidikan yang dilakukan oleh Termohon I Kapolda Metro Jaya.

Lebih lanjut, Boyamin menyebut hingga permohonan praperadilannya diajukan ke PN Jaksel, Kapolda Metro Jaya maupun Kajati DKI Jakarta tidak segera mengajukan berkas perkaranya untuk dilakukan penuntutan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian, KPK juga tak kunjung mengambil alih kasus tersebut.

“Dengan berlarut-larutnya penanganan atas pokok perkara korupsi pembelian tanah Cengkareng, sudah seharusnya diambil alih oleh Termohon IV. Hal mana tidak juga dilakukan oleh Termohon IV,” ujarnya.

MAKI menyoroti mandegnya kasus tersebut belum ada perkembangan kasus.

Ia menduga hal itu karena terjadi saat Gubernur DKI Jakarta dijabat Basuki Tjahja Purnama.

“Penyidikan yang dilakukan Para Termohon atas perkara tindak pidana korupsi a quo diduga kuat disebabkan karena melibatkan Gubernur Propinsi DKI Jakarta, Ir. Basuki Tjahaja Purnama yang memberikan disposisi penentuan lokasi dan persetujuan pencairan anggaran. Padahal sebagai pimpinan daerah tertinggi, seharusnya berhati-hati dalam mengeluarkan persetujuan pencairan uang negara dalam jumlah yang sangat besar. Jika Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak menerbitkan disposisi, maka dana APBD tersebut tidak akan dapat dicairkan. Apalagi untuk pembelian tanah, haruslah atas persetujuan dari kepala daerah,” ujarnya.

Ia membandingkan dalam kasus tindak pidana korupsi pembangunan jalan lingkar luar atau Gorontalo Outer Ring Road (GORR), di mana tanah yang dibebaskan untuk pembangunan jalan, sepanjang 22 km di antaranya tanah negara, sehingga seharusnya tidak dilakukan pembayaran atas tanah negara tersebut.

Terhadap kasus ini, dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun Kejaksaan Tinggi Gorontalo telah menetapkan 4 pejabat sebagai tersangka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Bahwa dengan demikian, secara diam-diam, para Termohon telah terbukti menghentikan penyidikan atas tindak pidana korupsi pembelian tanah di Cengkareng, Jakarta Barat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan cara tidak segera menetapkan tersangka atas tindak pidana tersebut,” ujarnya.

Boyamin meminta hakim mengabulkan permohonannya.

Serta menyatakan termohon I, II, dan III melakukan penghentian perkara secara diam-diam, serta meminta hakim memerintahkan KPK mengambil alih kasus tersebut.

“Memerintahkan Termohon I dan Termohon II melimpahkan berkas perkara dan barang bukti kepada Termohon IV,” ujar Boyamin.

Kasus pembelian lahan di Cengkareng, Jakbar ini bermula pada 2015, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan seluas 46 hektare yang direncanakan untuk pembangunan rumah susun, dengan harga Rp668 miliar dengan dana yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta.

Padahal tanah itu disebutkan milik Pemprov DKI, tapi pembelian dilakukan Dinas Perumahan pada seseorang yang mengaku memiliki lahan itu.

Pembelian lahan itu mendapat sorotan dari Ahok selaku Gubernur DKI saat itu.

Ahok menuding ada mafia dalam pembelian tanah itu, ia meminta BPK melakukan audit.

BPK kemudian melakukan klarifikasi terkait pembelian lahan oleh Pemprov DKI untuk Rusun di Cengkareng Jakarta Barat.

BPK menilai ada dugaan pembelian yang menyimpang dan berpotensi merugikan negara.

“Potensi ada di laporan itu. Yang harus dibuktikan, apakah benar ada pengadaan tanah Cengkareng itu menyimpang, tidak sesuai dengan ketentuan dan menimbulkan kerugian negara. Nah tim, akan mencari siapa yang melakukan apa dan seberapa besar kerugian itu,” kata Kabiro Humas BPK Yudi Ramdan Budiman di kantornya di Jakarta, Senin (27/6/2016).

Kemudian, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menelusuri kasus pengadaan lahan di Cengkareng, Jakarta Barat.

Penyidik menduga ada korupsi di pengadaan lahan di Cengkareng itu.

“Baru dugaan, diduga pada saat pengadaan tanah ada tindak pidana korupsi,” kata almarhum Brigjen Erwanto Kurniadi saat menjabat Wadir Tindak Pidana Korupsi Bareskrim, Sabtu (16/7/2016).

“Kita lagi telusuri apakah tindak pidana korupsinya itu mark up lahan, terus kemudian apakah ada gratifikasi juga yang terkait dengan panitia pengadaan yang menerima sejumlah uang yang dilaporkan ke KPK. Apakah itu sedesain dengan pengadaan lahannya,” sambungnya.

Sejumlah pihak pun dimintai keterangan oleh Bareskrim terkait kasus itu, termasuk Ahok dan wakilnya saat itu, Djarot Saiful Hidayat.

Namun, pengusutan kasus itu tidak terdengar lagi.

Hingga akhirnya MAKI mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel.(dbs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *