Moderasi Islam untuk Menjaga Eksistensi Global

Moderasi Islam untuk Menjaga Eksistensi Global
foto: ilustrasi
banner 400x400

Penulis: Ustadzah Arini Retnaningsih

Hajinews — Istilah moderasi Islam, Islam moderat, atau Islam wasathy, akhir-akhir ini sering tampil terutama di panggung Wapres dan Kemenag.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, cara berpikir wasathy (moderat), dinamis, dan tidak ekstrem dalam beragama Islam dapat mengembalikan era keemasan peradaban Islam seperti pada 800—1258 Masehi.[1]

Kemenag bahkan telah menyusun berbagai program untuk menderaskan Islam moderat. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta jajarannya untuk mempercepat implementasi moderasi beragama dalam berbagai programnya.[2]

Bila Islam moderat diangkat, nasib berbeda justru dialami Islam kafah dan umatnya. Islam kafah dicap ekstrem, radikal, dipinggirkan, dimutilasi ajaran-ajarannya, para pengembannya dikriminalisasi, difitnah, dan dipersekusi.

Islam kafah didesain sedemikian rupa agar ditakuti dan ditinggalkan umat melalui berbagai aturan yang diterbitkan negara. Salah satunya PP No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Kenapa beda perlakuan? Ternyata, ini semua tidak lepas dari adanya agenda tersembunyi yang melibatkan penguasa dunia.

Tangan Kapitalis Oligarki di Balik Islam Moderat

Kapitalisme dan Islam adalah sistem (ideologi) yang saling bertentangan. Kapitalisme bertumpu pada kebebasan pemilikan individu yang menjadikan individu sebagai pemilik kekayaan sumber daya alam dan berhak mengeksploitasi sesuai kehendaknya.

Inilah sebabnya, penjajahan merupakan satu hal yang niscaya bagi negara kapitalis sejati untuk mendapatkan sumber daya sebanyak-banyaknya.

Setelah berlakunya larangan penjajahan fisik, negara kapitalis mengubah strategi. Dengan dalih membantu perekonomian negara berkembang, investasi modal, alih teknologi, dan utang, negara kapitalis membuka akses ke sumber daya yang dimiliki negara-negara tersebut.

Maka, kita bisa lihat betapa para kapitalis menguasai kekayaan alam dunia dan menimbunnya di negara masing-masing, meninggalkan remah-remah saja untuk negara yang dieksploitasi.

Umumnya, negara-negara yang menjadi objek eksploitasi adalah negara-negara muslim. Di sini, mereka bisa berpesta pora dengan leluasa karena penguasa-penguasa negeri muslim adalah antek-antek yang sudah mereka beli.

Dalam tataran negara, Indonesia secara faktual telah hidup di bawah penjajahan Cina, AS, dan negara kapitalis lain. Negara-negara ini menguasai Indonesia melalui tangan-tangan kapitalis oligarki di dalam negeri.

Kita bisa melihat bagaimana kebijakan negara ditentukan oleh sedikit orang yang memiliki kekuasaan besar atas negara. Mereka menguasai negara melalui penguasa dengan uang dan iming-iming dukungan jabatan.

Hanya ada satu hal yang bisa menghentikan pesta mereka, kebangkitan Islam. Bila Islam bangkit dan pemikiran umat tercerahkan, kapitalis Barat akan bangkrut. Sebab, sistem ekonomi yang digariskan Allah dan Rasul-Nya mengharuskan negara menempatkan sumber-sumber kekayaan alam (tambang, hutan, dan perairan) di bawah kepemilikan umum.

Negara tidak boleh menempatkannya di bawah kepemilikan pribadi, apalagi menjualnya kepada asing. Negaralah yang harus mengelola sumber daya ini dan mengembalikan hasil keuntungannya kepada rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan mereka.

Dengan demikian, negara-negara kapitalis terancam eksistensinya karena akan kehilangan sumber daya alam, potensi pasar, dan hegemoninya atas dunia. Mereka kemudian merancang strategi untuk menghalangi kebangkitan Islam dan menjauhkan umat dari Islam politis ideologis.

Islam Moderat Agenda Global

Agar tidak menimbulkan permusuhan dengan negeri-negeri muslim dan menjadi kontraproduktif, strategi tersebut dirancang memanfaatkan tangan-tangan umat Islam sendiri melalui ide Islam moderat.

Hal ini sebagaimana direkomendasikan Cheryl Benard–peneliti RAND Corporation—dalam pembukaan Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies (2003).

Islam moderat menjadi agenda jangka panjang yang dirancang bagi seluruh negeri-negeri Islam di dunia. Sebelumnya, tragedi WTC tahun 2001 “sukses” menorehkan stigma teroris dan ekstremis bagi Islam.

Didorong rasa apologetis atas stigma radikal, umat Islam menerima Islam moderat yang dikatakan sebagai pemikiran yang tidak radikal tetapi juga tidak liberal.

Karakter muslim moderat yang diinginkan Barat adalah seseorang yang menyebarkan dimensi budaya universal (baca: Barat) yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM—termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama—, menghormati sumber hukum nonagama, menentang terorisme dan kekerasan–sesuai tafsiran Barat.[3]

Alhasil, seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai muslim moderat akan menolak pemberlakuan hukum Islam kafah, toleran terhadap penyimpangan akidah, tidak mendiskriminasi pelaku maksiat, menganggap Islam tak ada beda dengan aturan lain, menentang Islam politik—Negara Islam, Khilafah, dan jihad—; sekalipun dia menjalankan ibadah mahdhah, amat dermawan, dan dikenal sebagai tokoh Islam.[4]

Ide Islam moderat ini dipropagandakan sebagai pemikiran yang tidak radikal dan juga tidak liberal, pertengahan dan tidak ekstrem. Karenanya, banyak diadopsi para tokoh agama bahkan para ulama.

Mereka tidak menyadari bahaya pemikiran ini yang akan menyimpangkan penerimaan mereka terhadap hukum-hukum Allah hanya di masalah ibadah dan akhlak saja, dengan meninggalkan hukum-hukum terkait ekonomi, sosial, politik dan sistem sanksi yang juga terkandung dalam Al-Qur’an.

Penolakan terhadap Islam politik, yaitu penerapan syariat Islam dalam institusi negara, akan membuat hukum-hukum Islam tidak bisa dijalankan. Ancaman yang dikhawatirkan Barat pun tidak akan mewujud. Dengan kata lain, eksistensi kapitalisme global akan terus bisa bertahan dengan bantuan dari kaum muslimin sendiri. Ironis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *