Respon PBNU Soal Polemik Frasa Agama Hilang dari Peta Pendidikan

Respon PBNU Soal Polemik Frasa Agama Hilang dari Peta Pendidikan
foto: logo pbnu
Hajinews — Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud, menanggapi hilangnya kata “agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam draf terbaru itu, frasa agama dihapus atau hilang dan digantikan dengan akhlak dan budaya.

Menurut dia, seharusnya peta jalan pendidikan nasional tidak boleh menyimpang dari kesepakatan bersama yang telah ditetapkan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Mestinya peta jalan pendidikan dimulai, dari aturan ketuhanan yang dibumikan menjadi undang-undang dan diaplikasikan menjadi kebijakan pemerintah dan dilaksanakan segenap aparatur yang membidangi dari pusat sampai daerah, itulah perintah konstitusi kita hari ini, tidak boleh menyimpang dari kesepakatan bersama ini,” kata Kiai Marsudi dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/3).

Kiai Marsudi menjelaskan, peta pendidikan Indonesia adalah sebuah keinginan bersama rakyat Indonesia yang telah dirumuskan dengan musyawarah dan ditetapkan menjadi undang- undang yang harus diikuti semua pemangku kebijakan dalam bidang pendidikan.

Karena itu, menurut dia, pemerintah harus mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

“Dari sisi ini saja sudah jelas bahwa perintah UUD 1945 kepada pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, harus meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya bahwa keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia adalah domain agama,” ujarnya menjelaskan.

Kiai Marsudi menambahkan, sebagai negara yang berketuhanan, maka dalam membuat kebijakan pendidikan harus memenuhi tiga rukun utama. Pertama, yaitu harus mampu menyatukan hukum-hukum tsabat (hukum yang tetap) dan al-tathawwur (dinamis).

Kedua, harus menyatukan dua kemaslahatan, yaitu kemaslahatan umum (publik) dan kemaslahatan khusus (individu). “Ketiga, harus menyatukan antara kemaslahatan materi dan kebutuhan ruhani (al-jamu baina maslakhatil maadiyah wal haajat ar-ruhiyah),” kata Kiai Marsudi.

Sumber: minangkabau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *