Pendidikan yang Berkebudayaan

Pendidikan yang Berkebudayaan
Buku Pendidikan yang Berkebudayaan
banner 400x400

Oleh Yudi Latif

Hajinews – Buku “Pendidikan yang Berkebudayaan” menyiapkan visi pembangunan kualitas hidup manusia Indonesia yang dapat berkembang kreatif-inovatif ke masa depan, seraya berakar kuat pada nilai budi kemanusiaan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ibarat budi daya tanaman. Pohon ideal itu berakar dalam, berbatang tinggi, bercabang rapi, berdaun rindang, berbuah lebat. Akarnya akhlak-karakter mulia, batangnya wawasan ketinggian pengetahuan, cabang-rantingnya kecakapan tata kelola, daunnya kerukunan-kolaboratif, buahnya kreativitas inovasi.

Konsepsi pendidikan yang berkebudayaan jadi kunci memasuki masa depan. Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam Film Change. Pada masa ketika disrupsi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa di digitalisasi jadi sangat penting.

Dengan artificial intelligence, big data dan connectivity, hal yang bersifat teknis-taktikal bisa dikerjakan mesin. Pendidikan lebih memberikan perhatian pada sesuatu di luar jangkauan mesin.

Kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi, etika menjadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam simulasi, namun tidak dalam proses “menjadi”. Teknologi merepresentasikan “bagaimana” berubah, tapi tidak soal “mengapa”. Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin.

Praktik terbaik visi pendidikan yang berkebudayaan tercermin pada Repelita pemerintahan China, seperti diulas Richard Black, perwakilan Schiller Institute di PBB.

Program Repelita China mencanangkan pemberantasan kemiskinan, melalui model pembangunan khas China, yang lebih menekankan kualitas ketimbang kuantitas seperti GDP. Caranya dengan memadukan kreativitas-inovasi dengan penguatan nilai budaya. Sekitar 10 % dari GDP-nya dialokasikan untuk inovasi berbasis budaya, melalui penguatan sarana-prasarana dan pendidikan seni-budaya.

Berikut, saya tampilkan tiga wakil pembaca buku “Pendidikan yang Berkebudayaan”: Prof. Dr. Panut Mulyono (Rektor UGM); Prof. Dr. Sri Adiningsih (Ketua Wantimpres 2014-2019); Prof. Dr. Heris Hendriana (Rektor IKIP Siliwangi).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *