Gus Baha Penjaga Khazanah Intelektual Islam, Aset Nahdlatul Ulama di Masa Depan: Manusia Al Quran

Gus Baha Penjaga Khazanah Intelektual Islam, Aset Nahdlatul Ulama di Masa Depan: Manusia Al Quran
Gus Baha
banner 400x400

Selalu membebek buta dan terbelalak kagum pada segala pencapaian Barat.

Di Indonesia, Gus Baha tampil sebagaimana diharapkan oleh Dr Ahmad Thayeb.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Bisa dibilang, Gus Baha adalah representasi ulama Nusantara yang patut diandalkan.

Belakangan, satu video ceramah Gus Baha mengajak para santri untuk memberanikan diri menjelaskan kepakaran diri mereka, sebagaimana banyak para pekerja profesional, misal dokter gigi, bidan, dan lainnya terang-terangan menjelaskan profesi dan keahlian mereka.

Sementara santri, menurut Gus Baha, tidak ada yang berani membuat pengakuan tegas ahli fikih, ahli kitab Fathul Wahhab, dan lainnya.

Candaan Gus Baha semacam itu adalah ide brilian yang serius, karena menyangkut soal mentalitas kaum santri yang harus percaya diri, bangkit, menyaingi kepercayaan diri kaum akademisi lulusan perguruan tinggi.

Gagasan Gus Baha perlu direspon serius karena tidak saja menyangkut persaingan kepakaran dalam bidang ilmu, tetapi juga potensial untuk menyelamatkan publik dari belajar kepada ustad yang tidak memiliki keahlian dalam bidang agama.

Agama yang jatuh pada tangan orang yang tidak ahli bukan saja berdampak buruk secara personal melainkan meluas pada urusan sosial dan politik.

Sering kali atas nama agama, publik jatuh pada fanatisme, dan ujung-ujungnya proyek politik kekuasaan.

Agama selalu dijual setiap 5 tahun sekali, lebih-lebih mendekati pesta demokrasi seperti Pileg dan Pilpres.

Hanya saja, segala pemikiran dan prestasi Gus Baha tersebut tidak serta merta dapat dinikmati publik yang lintas batas.

Hal ini bisa di lihat dari daftar 15 ustaz-ustaz / Gus-gus yang populer di generasi milenial; suatu generasi baru yang akrab dengan dunia digital, dan memiliki karakter yang jauh lebih sederhana, tidak mau rumit, dan mencari rujukan-rujukan agama yang jauh lebih menghibur.

Salah satu buktinya, followers, subscribers, dan viewers Gus Baha kalah jauh dari ustad-ustad seperti Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Firanda Andirja, bahkan di bawah Gus Muwafiq, Gus Miftah, dan Ustad Yusuf Mansur sebagai representasi NU.

Pandangan penulis, setidaknya ada tiga persoalan utama: Pertama, Selain kedalaman berpikir dan keluasan pengetahuan, dominasi bahasa Jawa menjadi karakter khasnya, Bahasa lokal Jawa seakan menjadi “kerangkeng” dan sekaligus bahan material mendefinisikan komunitas atau jamaah Gus Baha.

Audiens yang mendengarkan via media sosial terbatas pada mereka yang berkultur Jawa, setidaknya paham bahasa Jawa, sehingga mau tidak mau terbentuk identitas yang Jawa Sentris.

Ini membuat kapasitas intelektual Gus Baha tidak bisa dinikmati komunitas/audiens lintas batas di Indonesia.

Kedua, tema-tema khazanah Klasik yang berat bagi sebagian orang awam, tentu hanya cocok untuk kalangan santri yang sudah mengenyam pendidikan pesantren.

Hal ini tidak perlu dipermasalahkan, karena selain jadi kekurangan tapi juga keunggulan.

Perlu ada penjaga gawang wacana-wacana turats klasik sekali pun itu susah dicerna publik luas yang jauh dari tradisi pesantren.

Ketiga, manajemen media sosial yang lemah.

Dari berbagai channel yang mendokumentasikan ceramah-ceramah Gus Baha, jumlah subscribers, followers, dan viewersnya kalah bila dibanding beberapa ustadz yang disebut di atas.

Hal ini adalah persoalan manajemen media, dan tidak terkait sama sekali dengan profil dan konten ceramah Gus Baha.

Masalah Dominasi Bahasa Jawa dan manajemen media sosial ini perlu segera dipecahkan.

Sebagai langkah strategis untuk melebarkan sayap dakwah NU pada umumnya dan untuk meluaskan jangkauan ceramah Gus Baha’ pada khususnya.

Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Sumber: tribun