Terkait Terorisme, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah: Sistem Peradilan Pidana Harus Terbuka

WEBINAR LP3ES yang bertajuk “Terorisme, HAM dan Arah Kebijakan Negara”, pada Jum'at (2/4) sore (dok)

Hajinews — Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo, mengungkap setidaknya ada tiga hal terkait akar terorisme di Indonesia, selain itu ia juga menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana terhadap teroris masih tertutup, dan kurang memperhatikan HAM.

“Akar terorisme di Indonesia terkait tiga hal yakni Pertama, Makar DI TII/NII yang kemudian berlanjut kepada stigma terhadap umat Islam dengan adanya gerakan Komando Jihad dan lain-lain, Kedua, Propaganda Barat (adanya ISIS-Al Qaeda dan Huntington Theory) dan Ketiga, Permasalahan Sosial Ekonomi,” Ungkap Trisno Raharjo, dalam acara WEBINAR LP3ES yang bertajuk
“Terorisme, HAM dan Arah Kebijakan Negara”, pada Jum’at (2/4) sore.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sejauh ini Trisno Rahardjo mengusulkan agar pola penanganan tindak terorisme oleh pemerintah hendaknya tetap mengedepankan pendekatan hukum pidana dan bukan pendekatan perang, seperti halnya di negara Barat. Sebab jika pendekatan perang yang digunakan, maka keterlibatan militer dalam penanganan terorisme akan dimungkinkan. Padahal, penggunaan militer dalam penanganan terorisme sampai saat ini masih menjadi silang pendapat.

Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan hukum pidana agar semua pihak yang terlibat dalam penanganan terorisme tetap melakukan hal baik dan benar dalam proses hukum pidana, serta memperhatikan HAM.

Di samping itu keterbukaan itu penting, perlu melibatkan peran serta masyarakat agar semua peradilan tindak pidana terorisme tidak berlangsung dalam ruang sunyi. Masyarakat harus dilibatkan agar memahami apa yang terjadi, dan mengerti bagaimana langkah-langkah ke depan dalam bersama-sama mencegah terorisme.

Sementara Program Deradikalisasi yang ada saat ini perlu dievaluasi. Seperti ada ketidaksesuain program dengan sasaran. Pelaku terorisme dan bom tetap saja muncul.

Adanya persoalan dalam proses penangkapan dan tindakan terhadap pelaku tindak terorisme juga menjadi perhatiannya. Cara-cara penegakan hukum yang kurang tepat dapat menimbulkan dendam di hadapan anak dan istri pelaku. Dampaknya justru rantai radikalisme tidak terputus dan terorisme terus berkesinambungan.

Trisno Raharjo juga memaparkan bahwa, penanganan kasus-kasus terorisme hendaknya jangan semua ditarik ke Pusat/Densus 88. Ada baiknya persidangan dan penegakan hukum pidana dikembalikan ke daerah asal terjadinya tindak pidana terorisme.

Akses terhadap publik juga harus dibuka dan tidak terkesan tertutup. Penghargaan terhadap profesi pengacara/advokat harus diberikan selayaknya, karena peran pengacara meskipun dalam tindak pidana terorisme adalah juga hal vital menentukan kelengkapan hukum acara pidana.

Persoalan sistem peradilan pidana ini sangat digaris bawahi oleh Trisno Raharjo, sekalipun ini kasus terorisme tetap harus memperhatikan HAM. Misalnya dalam kasus salah tangkap Siyono oleh densus 88, hingga hilangnya sebuah nyawa.

Adanya Hegemoni Rezim Intelejen sangat memengaruhi bagaimana penanganan terorisme di Indonesia. Menurutnya, jika Undang-Undang Korupsi bisa diubah sedemikian rupa, sama halnya terhadap Terorisme.(ingeu)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *