KOMPAKS Tuntut Investigasi Tes Alih Status Pegawai KPK yang Seksis dan Diskriminatif

RIP KPK (foto ist)
banner 400x400

Hajinews — KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) dan Gerak Perempuan mengecam keras pelaksanaan tes alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebab ada beberapa tes dan pertanyaan tidak etis yang bernuansa seksis, mengandung bias agama, bias rasisme dan diskriminatif.

Dalam pernyataan tertulis, pada Jum’at (7/5), Gerak Perempuan mengungkap beberapa catatan dari sejumlah sumber berita dimana terdapat beberapa pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya tes tersebut.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

1. Pertanyaan yang seksis dan bermuatan pelecehan [1] [2]

a. Pertanyaan terkait status perkawinan
Seorang pegawai KPK ditanyai mengenai statusnya yang belum menikah. Dari informasi didapatkan, salah satu pegawai KPK harus menghabiskan waktu 30 menit untuk menjawab pertanyaan tersebut.

b. Pertanyaan soal hasrat seksual.
Pertanyaan mengenai status perkawinan ada yang dilanjutkan dengan pertanyaan seksis “masih ada hasrat apa nggak?”.

c. Pertanyaan terkait kesediaan menjadi istri kedua.

d. Pertanyaan tentang “kalau pacaran ngapain aja?”.

Gerakan Perempuan menyebut contoh pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK dan tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara.

Menurut Gerakan Perempuan, pertanyaan yang bernuansa seksis tersebut karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya serta sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut. Pertanyaan dan pernyataan yang seksis ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara.

Tentunya hal ini bertentangan dengan Pasal 28G (1) 1945 & amandemennya mengatur “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi“.

2. Pertanyaan terkait kehidupan menjalankan ajaran agama atau seputar beragama [3] [4]

Gerakan Perempuan dan KOMPAKS turut menggaris bawahu dipertanyakan tata cara seorang menjalankan ajaran agamanya. Agama merupakan hak setiap warga negara dan privasi seseorang yang seharusnya tidak menjadi pertanyaan dalam seleksi pekerjaan. Seharusnya seleksi pekerjaan bersifat profesional dan sebisa mungkin terbebas dari berbagai bias pribadi si pewawancara, salah satunya bias agama.

“Pertanyaan seperti ‘Islamnya Islam apa?’ dan ‘Gimana kalau anaknya nikah beda agama?’ tidak ada kaitannya dengan tujuan tes maupun pada kinerja dan tanggung jawab kerja.”

3. Tes yang diisi dengan pernyataan rasis

Selain itu KOMPAKS juga memaparkan para pegawai KPK diminta untuk bersetuju atau tidak terhadap sebuah pernyataan. Muncul pernyataan seperti “Semua orang Cina sama saja” atau “Semua orang Jepang kejam”. Sulit membayangkan penilaian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan dari tes seperti ini. Apalagi pilihannya hanya dipaksa untuk menjawab sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Koruptor bisa datang dari semua ras tanpa terkecuali karena orang bertindak korup bukan karena rasnya.

 

Melihat dari jenis tes dan pertanyaan yang diberikan dalam tes alih status Pegawai KPK, kami mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan dari pelaksanaan tata cara dan tujuan tes peralihan ini. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah pemilihan model tes, pertanyaan yang diberikan, serta tata cara penilaian yang menjadi kriteria peralihan para Pegawai KPK menjadi ASN.

“Yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah pertanyaan yang menunjukkan kriteria pemilihan ASN sangat tidak etis, seksis, dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.” terangnya.

 

UU KPK

Proses peralihan status tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU ini mengubah status pegawai KPK menjadi ASN dan harus melewati tes peralihan.

Hal yang menjadi kontroversi adalah Aparatur Sipil Negara memiliki budaya kerja yang berbeda dengan status pegawai KPK. Pegawai KPK tidak memiliki kebebasan berserikat dan berkumpul ketika statusnya beralih menjadi ASN. Wadah Pegawai KPK (WP KPK) sebagai kolektif pegawai KPK memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga KPK dari gangguan pihak luar yang ingin menguasai dan menghancurkan KPK. Kekosongan orang-orang kritis di KPK tentunya akan menimbulkan kerugian besar bagi KPK untuk menjalankan fungsi secara maksimal dan optimal.

Tes peralihan ini dianggap menjadi salah satu proses menyaring orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemimpin, bahkan terhadap kebijakan negara yang tidak melindungi KPK untuk membasmi koruptor. Hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan menggiring opini peserta.

Dengan data-data yang dimiliki, Gerak Perempuan menyuarakan penolakan terhadap kekerasan kepada perempuan, bersama KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) menilai bahwa proses tes peralihan tidak dilakukan secara profesional dan etis, terutama pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, seksis, dan diskriminatif. Proses profesional dan terhormat ini tercoreng dengan adanya orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan pegawai KPK yang menjadi peserta tes.

Tuntutan Gerak Perempuan dan KOMPAKS:

1. Kepada Pimpinan KPK untuk membatalkan evaluasi yang dilakukan berdasarkan hasil tes ngawur semacam ini

2. Kepada Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi berat kepada Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang membentuk peraturan Komisi KPK dan melakukan tes ini serta pihak-pihak yang menjalankan tes ini.

3. Kepada semua pihak menjamin kemanan dan perlindungan identitas dari para peserta tes yang diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak etis, seksis, rasis dan diskriminatif.

4. Kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan proses dan menganulir Tes Peralihan ASN tersebut yang terbukti melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK dan melampaui wewenang.

5. Kepada Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang menerbitkan Keppres pengangkatan pimpinan KPK untuk menindak Pimpinan KPK yang melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK peserta tes melalui Asesemen Wawasan Kebangsaan

6. Kepada Pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi karena pengesahan UU tersebut justru semakin menghancurkan pemberantasan korupsi di Indonesia.

7. Kepada Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.(ingeu)

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *