Peluang dan Tantangan Perdamaian dalam Konflik Arab-Israel

Peluang dan Tantangan Perdamaian dalam Konflik Arab-Israel
Peluang dan Tantangan Perdamaian dalam Konflik Arab-Israel, Foto/dok kumparan
banner 400x400

Prof Dr Makarim Wibisono, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Palestina menyebut bahwa upaya untuk menyelesaikan masalah ini sering terhalang oleh banyak faktor. “PBB gagal menangani masalah Palestina karena tidak ada kekompakan antar Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB di mana AS selalu membela Israel.”

Beberapa kali Dewan Keamanan PBB keluarkan resolusi agar Israel menarik pasukannya dari Palestina. Majelis Umum PBB juga membuat manuver agar terjadi perdamaian di Palestina dan Timur Tengah. Karena berbagai usaha sering digagalkan oleh AS, PBB mendukung saja usaha perdamaian seperti Perdamaian Oslo (1993), Konferensi Annapolis (2007), Camp David (1978), Land for peace, dan lain-lain.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Menurut Makarim, proses perdamaian menjadi lebih rumit karena putusnya hubungan antara pihak terkait. Desember 2017, Presiden Palestina Mahmoud Abbas memutuskan hubungan Palestina dengan AS setelah Presiden Trump menyatakan pengakuan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Mahmoud Abbas dalam Majelis Umum PBB September 2018 menyatakan bahwa sikap AS adalah melanggar hukum internasional dan bias mendukung Israel.

Masalah yang ada: proses perdamaian tidak berjalan, hubungan Palestina dengan AS dan Israel masih terputus, Fatah dan Hamas belum bersatu. Sebagai bangsa yang besar, toleran, dan rukun, Indonesia bisa urun rembuk. “Muhammadiyah bisa mengundang wakil dari Hamas dan Fatah, bicara dari hati ke hati,” kata Makarim. Yang bisa didekati: Gabriel Rajoub (Sekjen Komite Sentral Fatah) dan Ismael Haniyeh (Hamas). Masalah lainnya adalah negara-negara Arab mulai membuka hubungan diplomatik dengan Israel seperti UEA dan Bahrain, Israel merasa yang menjadi musuhnya hanya Palestina.

Dr Sudarnoto Abdul Hakim MA, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional sepakat bahwa negara-negara Arab mulai meninggalkan Palestina. Mengatasi masalah ini memerlukan kerja-kerja diplomatik yang serius. Indonesia perlu terlibat dalam diplomasi kemanusiaan dan perdamaian, termasuk menggerakkan gerakan filantropi. “Ini bisa melibatkan kekuatan civil society secara luas, ormas-ormas keagamaan di Indonesia.”

Soal pandangan bahwa ini konflik agama, Sudarnoto tidak dapat membantah bahwa Al-Qur’an telah banyak mengisahkan tentang Yahudi yang dikenal licik dan sering berkhianat. Islam, Yahudi, dan Kristen telah mempengaruhi sejarah dunia yang panjang. Wajar jika muncul sentimen keagamaan dan narasi bahwa yang berperang itu antara Islam dan Yahudi.

Menyikapi kesalahpahaman dalam isu Israel-Palestina, Sudarnoto menyebut perlu dibangun narasi yang didasari data dan fakta historis. “Israel melakukan okupasi, penguasaan dan perluasan wilayah kekuasaannya. Ini bukan perang, tetapi penjajahan, genosida. Ini adalah terorisme yang kasat mata dilakukan Israel.” Rakyat Palestina melawan dalam upaya mempertahankan diri dari agresi Israel.

Dr Surwandono MSi, Pengajar Hubungan Internasional Program Magister UMY menyatakan bahwa saat ini, “Yahudi yang kecil telah menjadi transetter bagi dunia.” Bukti keberhasilan Israel membangun pengaruh, misalnya, mayoritas negara di dunia telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Ia juga melihat bahwa fenomena muslim zionis semakin banyak. Semakin lama, semakin Palestina termarjinalkan, semakin susah mengendalikan keadaan.

Sumber: suaramuhammadiyah