Pembatalan Ibadah Haji Pernah Terjadi, Dr H Jeje Zainuddin Terangkan Sejarah dan Hukum Syariahnya

Hajinews – Dilansir dari laman ARAB.NEWS bahwa Kementerian Kesehatan dan Haji Kerajaan Arab Saudi mengumumkan Sabtu (12/6/2021) bahwa total 60.000 peziarah akan diizinkan untuk melakukan haji tahun ini. Inipun dikhususkan bagi penduduk setempat.

Mereka menekankan bahwa mereka yang ingin melakukan haji harus bebas dari penyakit kronis apa pun, dan berusia antara 18 hingga 65 tahun bagi mereka yang divaksinasi virus sesuai dengan langkah-langkah vaksinasi kerajaan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Jamaah haji harus divaksinasi lengkap, atau mereka yang mengambil satu dosis vaksin COVID-19 setidaknya 14 hari sebelumnya, atau mereka yang divaksinasi setelah sembuh dari infeksi virus corona.

Keputusan itu “didasarkan pada keinginan terus-menerus Kerajaan untuk memungkinkan para tamu dan pengunjung di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi untuk melakukan ritual haji dan umrah,” kata kementerian itu. “Kerajaan mengutamakan kesehatan dan keselamatan manusia.” Dan ibadah Haji dimulai pada pertengahan Juli.

Ada beberapa pertanyaan seiring “pembatalan” ibadah haji bagi sementara kalangan, pertanyaan tersebut menyangkut :

1. Adakah dalam sejarah pembatalan ibadah haji?
2. Apakah betul jika ada pembatalan haji menunjukan tanda kiamat?
3. Apakah secara hukum syariat dibenarkan penguasa membatalkan atau membatasi pelaksanaan jamaah haji ?
4. Apakah Pemerintah Saudi dapat disalahkan yang hanya mengijinkan penyelenggaraan ibadah haji untuk para muqiimin atau penduduk yang tinggal di Saudi saja.? Bagaimana hukumnya?
5. Apakah hal itu tidak membuat sedih dan kecewa para jamaah sedunia, termasuk Indonesia.?

Terkait dengan pertanyaan diatas, maka dalam hal ini Wakil Ketua Umum PP Persis Dr H Jeje Zainuddin memberikan tanggapannya.

Menurut Dr Jeje bahwa sepanjang informasi sejarah, pembatalan pelaksanaan haji karena ada situasi genting bukan hanya sekarang, tetapi ada beberapa kejadian pada masa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat membatalkan Umrah pada tahun 6 H. Padahal beliau dan para sahabat sudah berada di Hudaibiyah yaitu hanya beberapa kilometer dari Mekah. Pertimbangannya jika dipaksakan akan terjadi pertumpahan darah. Maka Rasulullah memilih berdamai dengan pemimpin Quraesy dan membatalkan umrahnya, meskipun keputusan itu sangat berat diterima oleh para sahabatnya

Dalam sejarah juga tecatat beberapa kali haji ditutup oleh otoritas Mekah masa itu disebabkan kekacauan politik yang memakan korban jiwa sangat banyak. Seperti terjadi tahun 930 M ketika Kabah diserbu Sekte Syiah Qaramithah dan mencongkel Batu Hajar Aswad dan memindahkannya ke Bahraen.

Selama sekitar 20 tahun Kabah kosong dari Hajar Aswad dan kaum muslimin dilarang berhaji. Demikian juga pelaksanaan haji dibatalkan disebabkan terjadi musibah pandemi atau wabah seperti Korela yang mematikan. Sehingga haji pernah dibatalkan pada tahun 1814, 1831, 1846, 1850, 1858, hingga 1883.

Dalam sejarah Indonesia juga penyelenggaraan haji pernah ditiadakan pada tahun 1947 karena situasi perang yang sangat genting karena agresi Belanda kepada Indonesia

Ustadz Jeje juga menyampaikan bahwa belum menemukan dalil otentik dari Quran dan Sunnah yang sahih, bahwa tanda Kiamat itu dibatalkannya ibadah haji.

Bahkan menurut para sejarawan, bahwa sepanjang sejarah Islam, penyelenggaraan ibadah haji pernah ditiadakan dengan berbagai alasan dan sebab tidak kurang dari 40 kali. Namun alhamdulillah tidak tejadi Kiamat Kubro.

Terkait hukum syar’inya, bahwa ibadah haji itu kewajiban bagi muslim yang sudah mampu satu kali seumur hidup.
Syarat istitoah dalam pelaksanaan ibadah haji itu termasuk kemampuan diperjalanan, yaitu “manistato’a ilaihi sabila”. Artinya orang yang tidak mampu membiayai perjalananya, meskipun sehat dan kuat maka tidak wajib. Yang punya biaya tapi tidak sanggup berjalan juga gugur kewajiban. Yang sanggup berjalan dan punya biaya akan tetapi terancam keselamatan jiwa dan keluarganya, juga gugur kewajibannya.

Ada kabar bahwa Pemerintah Saudi hanya mengijinkan penyelenggaraan ibadah haji untuk para muqiimin atau penduduk yang tinggal di Saudi saja.? Bagaimana hukumnya?

Jika berita itu benar, ya tentu Pemerintah Saudi tidak disalahkan. Begitu juga pemerintah Indonesia. Karena pemerintah bertanggungjawab atas keselamatan jiwa rakyatnya dari wabah.

Kalau bicara kecewa, kita semua pasti sangat sedih juga kecewa. Tapi jika keputusan itu berdasar pertimbangan yang matang dari berbagai aspek terutama demi keselamatan jiwa para jamaah dan aspek hukum syariahnya, bukan karena alasan politis dan sebagainya yang tidak berkaitan langsung dengan ibadah haji, maka tidak ada alasan kita sebagai masyarakat untuk menentangnya.

Masalah penyelenggaraan haji dari Indonesia tidaklah sederhana dan tidak bisa disederhanakan hanya masalah sudah divaksin atau belum dan pembatasan jumlah prosentase jamaah.

Ada banyak faktor yang cukup pelik. Seandainya penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dibuka oleh otoritas Saudi, tapi pembukaan haji oleh Saudi terlalu mepet waktunya. Sementara mekanisme pemilihan jamaah, pelatihan manasik, dan penerapan standar protokol kesehatan di masa Covid-19, tentu itu tidak akan sanggup dilakukan oleh penyelenggara ibadah haji Indonesia.

Belum lagi akan terjadi berbagai perubahan pelaksanaan Prosesi Ibadah haji akibat situasi pandemi Covid-19 yang bisa berakibat kurang sempurna bahkan tidak tercapainya rukun dan wajib pelaksanaan manasik haji yang sesuai tuntunan Al Quran dan Sunnnah. Begitu juga tidak ada jaminan bahwa semua prosedur kesehatan itu benar-benar bisa dilaksanakan secara kedisiplinan dan konsisten.
Dalam konteks ini maka bisa dipahami jika penyelenggaraan Ibadah haji tahun ini ditiadakan dan berharap tahun depan benar-benar dapat terselenggara. (dbs).

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *