Soekarno – PKI Dan HMI Di Ambang Pembubaran

Soekarno - PKI Dan HMI Di Ambang Pembubaran
Soekarno - PKI Dan HMI Di Ambang Pembubaran. Foto/ilustrasi

Oleh: MHR Shikka Songge, Peneliti: Politik dan Sosial Keagamaan CIDES, Instruktur Nasional NDP HMI.

Hajinews.id – Suatu kelaziman bagi setiap tokoh apalagi pemimpin selalu memiliki obsesi besar untuk menjadi masyhur dan mempengaruhi arah dunia dengan pemikiran besarnya. Hal itu tidak terkecuali bagi manusia manapun termasuk Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sejarah menjelaskan bahwa Soekarno pernah menorehkan satu impian politik yang menomental dan mengundang perhatian dunia Internasional. Yaitu Soekarno ingin menginternalisasi dan menginstitusikan faham Nasionalisme, Agama dan Komunisme dalam satu konsepsi politik yang disebut NASAKOM dan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun hal demikian sesuatu yang mustahil menyatukan ketiganya, karena ketiga mazhab memiliki dasar pijakan yang berbeda.

Pemikiran Soekarno tentang konstrucsi NASAKOM adalah tawaran baru kepada anak-anak bangsa, tumpah darah. Bahwa ia memiliki sebuah obsesi besar untuk menjadikan NASAKOM sebagai ideologi alternatif yang menyatukan bangsa. Bagi Soekarno faham Nasionalism, Agama, dan Komunisme tidak perlu dipertentangkan secara diametral dalam membangun ketahanan nasional untuk menghadapi imperialisasi ekonomi dan politik global.

Dari sini Soekarno bergerak membuka peta kepemimpinan politik baru sebagai Pemimpin dunia. Gagasan Nasakom sebagai sintesa dari tesa-tesa yang berkembang di berbagai belahan dunia, yang mengunggulkan agama, nasional dan marxis. Nah Soekarno sebagai pemimpin dunia di abad 20 ia ingin mengalahkan pemimpin besar lainnya di belahan dunia Timur maupun Barat dengan konsep NASAKOM.

Dalam konteks Indonesia, upaya Soekarno mewujudkan impian itu ternyata harus dibayar dengan harga yang mahal. Soekarno tega melepaskan kawan seperjuangan yang sama sama mendirikan Indonesia. Soekarno mengabaikan tatanan demokrasi yang seharusnya diperlukan untuk mengelola dan menata bangunan kebernegaraan yang lebih baik di masa masa mendatang. Soekarno bahkan mengabaikan perasaan keberagamaan tokoh dan umat islam yang telah merelakan jihadnya dalam perjuangan menyusun kemerdekaan Indonesia.

Pertama, Soekarno memberi Karpet Merah dan membuka ruang yang terbuka dalam kancah politik bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) Pimpinan DN Aidit. Dan dari situ PKI mendapat angin segar untuk secara terbuka terus berkonsolidasi, memperkuat sinergisitas kepentingan terutama dukungan politik kepada Soekarno yang ambisius.

Meski Soekarno tahu dan menyadari bahwa PKI pimpinan Muso pernah melakukan Pemberontakan di Madiun thn 1948 yang membunuh para kiai, santri, membangkar masjid dan pondok pesantren. Peristiwa Kanigoro adalah kelam bagi kader PII, dimana PII (Pelajar Islam Indonesia) sedang Training dibakar di bunuh dalam gedung. Tak Terkecuali Pondok Modern Gontor Ponorogo, Kiyai, Santri dan Para guru gurunya diobok obok, diserbu oleh PKI. Pak Kiyai Ahmad Sahal dan adiknya KH Imam Zarkasyi, bersama Santri terpaksa mengasingkan diri ke gua Slahung cukup jauh dari Gontor.

Yang tragis, para ulama kiai yang alim dan ustadz yang takzim di desa desa dibantai, dibunuh secara sadis dan keji lalu dibuang ke dalam sumur atau sungai. Para pemuka islam pimpinan pondok pesantren menjadi musuh bagi Partai Komunis. Benarkah sadisme itu menjadi watak dan karakter politik anak bangsa, atau karakter ideologi tanpa Tuhan.

Dari sini PKI seperti lupa diri bahwaa PKI pernah menorehkan sejarah hitam nun kelam, pemberontakan yang sadis dan keji terhadap para tokoh islam dan orang orang terdidik lainnya. PKI terus berkonsulidasi dan mengikuti Pemilu Pertama tahun 1955 dan PKI keluar sebagai 4 pemenang besar: PNI, Masyumi, NU dan PKI.

Kedua, Perjalanan politik ke depan Syahwat Politik Soekarno dengan dukungan PKI makin tak terkendali. Nampaknya Soekarno makin otoriter, sehingga membubarkan Konstituante. Sementara konstituante telah berupaya merumuskan konstitusi negara yang sangat modern, Kata Dr. Adnan Buyung Nasutian. Meski Indonesia baru saja merdeka, tetapi sudah memiliki konstitusi negara yang maju dan berperadaban. Sangat disayangkan karya konstituante itu kemudian hanya disimpan menjadi arsip negara.

Ketiga, Perbedaan semakin tajam dengan tokoh pelopor penggerak kemerdekaan, terutama Dr. Muhammad Hatta sang Proklamator terkait cara pandang dan pengelolaan penerintahan negara. Nampaknya Soekarno membiarkan M. Hatta memilih mundur diri dari Wapres. Hatta sepertinya tak sanggup melihat Soekarno dengan berbagai akrobatiknya yang mengabaikan norma dan standar bernegara. Dan Soekarno akhirnya memimpin Negeri Indonesia tanpa Wapres, semakin buruk kualitas kepemimpinan dari cara berdemokrasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

1 Komentar