Eksaminasi HRS Center Terhadap Putusan Perkara HRS Dkk

Eksaminasi HRS Center Terhadap Putusan Perkara HRS Dkk
Eksaminasi HRS Center Terhadap Putusan Perkara HRS Dkk

Bagian: Unsur Dengan Sengaja Menerbitkan Keonaran di Kalangan Rakyat.

Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center/Ketua Tim Eksaminasi)

Bacaan Lainnya
banner 400x400

I. Prolog

Hajinews.idJudex Factie Pengadilan Negeri Jakarta Timur perkara Habib Rizieq Shihab atau HRS dkk dalam pertimbangan hukumnya (ratio decidendi) menyatakan bahwa “berkeyakinan apa yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut termasuk dalam kategori sengaja dengan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn/dolus evantualis).” Dengan demikian, terpenuhinya unsur dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat menunjuk pada ‘kesengajaan dengan kemungkinan’. Corak kesengajaan tersebut oleh Judex Factie disamakan dengan ‘kesengajaan bersyarat’ (dolus eventualis).

Diketahui Judex Factie menjelaskan doktrin kesengajaan dengan kemungkinan ternyata mengambil dari sumber internet yakni Hukum Online dan/atau Skripsi Mahasiswa Fakultas Hukum. Pada keduanya itu tidak ada keterangan sumber (referensi) yang menjadi rujukannya. Patut diduga telah terjadi tindakan plagiarisme. Terhadap hal ini telah dilakukan pengujian melalui sistem informasi yang tersedia dan oleh karenanya dapat dipertanggungjawabkan. Terlepas dari itu, penjelasan tentang doktrin kesengajaan yang dicopas tersebut digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Penjelasan doktrin dimaksud sebagai berikut:

“Pelaku menyadari kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki, namun kesadaran tentang kemungkinan terjadinya akibat lain itu tidak membuat pelaku membatalkan niatnya dan ternyata akibat yang tidak dituju tersebut benar-benar terjadi. Dengan kata lain, pelaku pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya akibat yang dilarang undang-undang, namun ia mengabaikannya dan kemungkinan itu ternyata benar-benar terjadi.” (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ee99dda4a3d2/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh–nefa-claudia-meliala/?page=3).

II. Analisis

Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana menjadikan perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagai tindak pidana menunjuk pada akibat timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Oleh karena itu, penekanannya bukan dari kebohongannya, namun dari maksud/kehendak pelaku dalam menimbulkan akibat keonaran tersebut. Pada prinsipnya kebohongan adalah bukan pidana. Kebohongan menjadi tindak pidana apabila dihubungkan dengan perbuatan lain yang dilarang dan bohong itu sebagai alat guna mencapai maksud atau tujuannya.

Pernyataan atau pemberitahuan tentang kondisi Habib Rizieq Shihab dalam keadaan sehat, baik yang disampaikan oleh dr. Andi Tatat, Habib Hanif Alatas maupun Habib Rizieq Shihab sendiri tidak dapat dikatakan sebagai menyiarkan berita atau pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Berita bohong dinilai memiliki makna sepanjang perbuatan tersebut telah memenuhi unsur adanya suatu kelakuan dan akibat yang ditimbulkan dari kelakuan tersebut. Suatu akibat harus dirumuskan secara jelas dalam dakwaan dan tuntutan, yaitu suatu kenyataan empirik yang ditimbulkan oleh sesuatu penyebab (causa). Disini berlaku hukum sebab akibat (kausalitas). Dalam ratio decidendi Judex Factie tidak menguraikan terjadinya hubungan kausalitas antara pernyataan/pemberitahuan tersebut sebagai sebab dan terjadinya keonaran sebagai akibat. Sejalan dengan itu, tidak pernah ditemui dalam persidangan adanya suatu fakta hubungan antara perbuatan dengan timbulnya akibat sebagaimana dimaksudkan. Tidak pula ditemukan adanya alat bukti yang mampu menerangkan adanya perbuatan pidana dan keterhubungannya dengan kesalahan.

Disisi lain fakta telah memperlihatkan bahwa pernyataan/pemberitahuan yang disampaikan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keonaran, melainkan sebaliknya sebagai klarifikasi terhadap berbagai berita/komentar yang mengandung ujaran kebencian (hate speech). Pemberitaan menyatakan bahwa Habib Rizieq Shihab menderita sakit parah, kritis, bahkan sekarat. Oleh karena itu maksud penyampaikan kondisi kesehatan justru untuk meredam kegaduhan atas berita hoaks yang demikian masif dan tentunya mencegah implikasi negatif di masyarakat.

Lebih lanjut, untuk menentukan adanya kesalahan seseorang, maka harus memenuhi beberapa unsur, salah satunya adalah adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus/culpa). Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, keinginan dalam melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan batin pembuat delik yang kemudian pikirannya mengarahkan dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut atau tidak (Leden Marpaung: 2009, hlm.13). Kesengajaan berkedudukan sebagai tanda konkrit adanya kesalahan. Kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti). Dengan demikian, dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat. Dalam kaitan ini, Judex Factie tidak menguraikan terjadinya hubungan batin dengan kesengajaan sebagaimana dimaksudkan.

Masih dalam kesalahan, dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan dapat terjadi jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah. Dalam hal ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang tertuju pada suatu tindak pidana. (Chairul Huda: 2008, hlm. 107). Pernyataan/pemberitahuan tentang kesehatan Habib Rizieq Shihab tidaklah termasuk dalam kualifikasi penggunaan pikiran secara salah dan mengarahkannya melakukan tindak pidana sehingga timbul akibat lain yang tidak dikehendakinya. Akibat lain yang dimaksudkan oleh Judex Factie adalah timbulnya kegaduhan di media sosial yang nota bene dunia maya dan itu merupakan hasil analogi. Padahal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak menyebutkan kegaduhan di media sosial sebagai akibat dari adanya pemberitahuan bohong. Dengan demikian, pada diri para Terdakwa sama sekali tidak memiliki kesalahan. Tidak dapat dibenarkan penentuan adanya hubungan antara sikap batin (mens rea) dengan perbuatan (actus reus) yang melahirkan suatu akibat ditentukan secara menyimpang dari ketentuan undang-undang yakni melalui analogi. Hukum pidana dengan tegas melarang penggunaan analogi.

Untuk menentukan adanya suatu kesengajaan, maka pendekatannya menunjuk pada dua hal yakni unsur ‘menghendaki’ dan ‘mengetahui’ (willen en wetten). Pada yang tersebut pertama, pelaku menghendaki terjadinya tindak pidana dan akibat dari dilakukannya tindak pidana tersebut. Adapun pada yang tersebut belakangan, pelaku mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan suatu hal yang dilarang akan tetapi pelaku tetap melakukan tindak pidana tersebut (Abdul Chair Ramadhan: 2017, hlm.151).

Judex Factie telah salah/keliru dalam memahami dan menerapkan kesengajaan dengan kemungkinan. Opzet ini disebut opzet dengan syarat (voorwaardlijke opzet) atau dolus eventualis. Dalam hal ini, di samping terjadinya akibat yang menjadi tujuannya juga timbul akibat lain yang tidak menjadi tujuannya, yakni berupa kemungkinan timbulnya akibat yang lain. Opzet jenis ini ditujukan kepada kemungkinan akan timbulnya akibat yang lain, yang tidak menjadi tujuannya dan yang mungkin timbul dengan dilakukannya perbuatan tersebut (Satochid Kartanegara: 2001, hlm.260). Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana hanya menyebutkan “keonaran di kalangan rakyat” sebagai satu-satunya akibat. Tidak ada fakta terjadinya akibat baik keonaran di kalangan rakyat maupun akibat yang lain. Akibat lain yang dimaksudkan oleh Judex Factie sebagaimana disebutkan di atas bukan berasal dari norma undang-undang melainkan berdasarkan analogi Judex Factie. Menurut doktrin dolus eventualis haruslah ada “billigend in kauf nehmen” atau menerima penuh resiko terwujudnya suatu kemungkinan (Jan Remmelink: 2014, hlm.157). Habib Rizieq Shihab dkk sama sekali tidak termasuk dalam kriteria mewujudkan terjadinya suatu kemungkinan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Judex Factie. Dengan demikian tidak pada tempatnya pembebanan resiko terwujudnya suatu kemungkinan (in casu kegaduhan di media sosial) sebagaimana didalilkan oleh Judex Factie dibebankan kepada para Terdakwa.

Judex Factie juga telah salah/keliru dalam menerapkan kesengajaan dengan kemungkinan yang kemudian dikaitkan dengan delik penyertaan (deelneming aan strafbare feiten). Dalam delik penyertaan selalu terdapat perjumpaan kehendak (meeting of minds) diantara para pelaku. Kesepahaman kehendak di antara pelaku tersebut menunjukkan adanya persamaan sikap batin dalam melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu jenis kesengajaannya bercorak dengan maksud (als oogmerk). Pada bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara (state belangen). Jadi, bukan untuk melindungi kepentingan hukum individu (individuale belangen) maupun kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen). Sejalan dengan itu, dalam tindak pidana terhadap keamanan negara – salah satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana – maka penyertaan lazim dilakukan secara sistematis dengan menunjuk adanya pemufakatan jahat (dolus premeditatus) diantara para pelaku. Dengan demikian, dalam delik penyertaan pada perkara a quo bukan bercorak dengan kemungkinan. Inilah pokok persoalan dimana Judex Factie menempatkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

III. Epilog

Kesepakatan dalam penyampaian/pemberitahuan tentang kesehatan Habib Rizieq Shihab bukanlah dimaksudkan untuk suatu kejahatan. Apa yang disampaikan oleh mereka bertiga bukan termasuk permufakatan mewujudkan tindak pidana. Kesepakatan yang dilakukan tersebut tidaklah termasuk perbuatan yang dilarang dalam undang-undang. Tidak terdapat suatu fakta di persidangan yang menunjukkan adanya penggunaan pikiran Habib Rizieq Shihab dkk guna mewujudkan terjadinya keonaran di kalangan rakyat maupun kegaduhan di media sosial. Dengan demikian tidak ditemui adanya wujud penggunaan pikiran dan kehendak untuk mewujudkan terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. Oleh karena tidak adanya kesalahan, maka tentu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Seharusnya, pihak yang tepat untuk diproses hukum dan diadili dalam perkara ini adalah media-media dan youtube channel yang telah menyampaikan pemberitaan/komentar yang mengandung ujaran kebencian dan hoaks. Demikian jelas kegaduhannya dan cenderung destruktif.

Menjadi pertanyaan mengapa keberadannya tidak ditindak? Bukankah secara kausalitas, sebab dominan terjadinya kegaduhan sebagaimana dipersepsikan oleh Judex Factie diawali dan bermula dari media-media dan youtube channel tersebut. Semoga aparat penegak hukum mau dan mampu melaksanakan tugasnya terhadap konten-konten provokator tersebut termasuk juga menangkap aktor intelektualnya.

Jakarta, 23 September 2021.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *