Program “Moderasi” Beragama Yang Salah Kaprah

Program "Moderasi" Beragama Yang Salah Kaprah
Program "Moderasi" Beragama Yang Salah Kaprah

Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – Pemerintahan Jokowi melalui Polisi, Departemen agama, BNPT, dan Departemen Pendidikan Nasional, nampak telah salah kaprah dalam memahami “sekulerisasi” sebagai pendekatan dalam memahami ajaran agama, khususnya Islam.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Salah kaprah terjadi karena tidak paham tentang konsep “barzakh” (alam antara) yang dikenalkan Al-Quran. Salah kaprah terjadi karena memahami “sekulerisasi” sebagai “sekularisme”, dan salah kaprah terjadi karena memgikuti program “sekularisme” ala Barat dalam meredikalisasi ajaran Kristen, untuk melumpuhkan hegemoni Gereja terutama Katolikhisme dalam mempengaruhi politik negara pada abad pertengahan, hingga melahirkan Protestantianisme.

Salah kaprah seperti yang telah dikemukakan diatas, mesti diluruskan, agar program “moderasi” beragama yang salah kaprah itu jangan diteruskan. Dan agar konsep tentang “alam antara” atau “barzakh” ini dipahami dengan baik sebagaimana Al-Quran mengajarkan.

Alam barzakh atau “alam antara” dalam Al-qur’an digunakan guna memisahkan ilmu atau pengetahuan. Yakni memisahkan antara ilmu syariat dengan ilmu ma’rifah. Sebagimana firman Allah:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِۙ

marajal-baḥraini yaltaqiyān

Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu

Q.S Ar-Rahman [55] : 19

بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيٰنِۚ

bainahumā barzakhul lā yabgiyān

di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.

Q.S Ar-Rahman [55] : 20

Barzakh atau “batas yang memisahkan”, atau “pemisah” pada dua ayat diatas, dalam realitas alam al-mulk, nampak pada pemisahan yang terjadi pada air laut, disebabkan karena perbedaan kandungan kadar garam. Secara esoterik, para airfbillah, para ahli takhik, ahli ma’rifat, ahli kasyaf, seperti Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Syeikh Yusuf Al-Makassary dan lainnya, memberitahu makna ayat diatas bahwa; hal itu terkait dengan “dua aliran ilmu”, yakni ilmu syariat dan ilmu ma’rifat. Dimana sekalipun keduanya “bertemu” pada samudera yang sama, yakni “ilmu hakikat” namun keduanya tidak dapat saling bercampur. Dan sebab itu, bukan sikap bijaksana memisahkan kedua aliran tersebut, karena keduanya dibutuhkan dalam rangka menemukan hakikat sesuatu. Konsep kaffah totalitas pemahaman atas suatu konsep hanya dapat ditemukan dengan memahami makna lahiriahnya, dan juga makna batiniahnya.

Pemisahan, atau barzakh antara ilmu syariat dengan ilmu ma’rifat sebab itu, merupakan konsekuensi perbedaan sifat dari keduanya, dan bukan karena ketiadaan kemanfaatnnya.

Ilmu pengetahuan umum atau “syariat” diperlukan karena kemanfaatannya dalam memahami hal-hal yang terinderai secara lahiriah, dan ilmu “ma’rifat” dibutuhkan karena kemanfaatannya dalam memahami hal-hal yang bersifat batiniah atau “gaib” dari sisi ilmu syariat.

Jika ilmu syariat objeknya menyangkut aspek lahiriah duniawi, maka ilmu ma’rifat objeknya menyangkut aspek batiniah-ukhrawi. Keduanya diperlukan untuk memahami alam gaib dan alam syahada ( alimul gaibi wasyahada). Sehingga pemisahan dimaksudkan sebagai furqon ( “pembeda”) dari kedua alam itu, dan bukan dimaksudkan sebagai pemisahan ( “aeculum” ) atau kedua alam tersebut, yang kemudian berimplikasi kepada munculnya pemahaman yang parsial terhadap ilmu. Parsialitas ilmu pengetahuan itulah penyebab ketidakseimbangan dalam memahami sesuatu, dan itulah akar dari paham ekstrimisme apapun yang kita temukan, baik bernuansa agama maupun sebaliknya bernuansa anti agama.

Salah paham ini begitu kuat pada masa lampau dalam tradisi Kathlokhisme, sehingga melahirkan “Protestantianisme”. Lalu menimbulkan pemisahan secara radikal antara urusan agama sebagai urusan pendeta semata, dan urusan dunia sebagai urusan ilmuan (saintis) semata.

Salah kaprah ini nampaknya masih terus berlangsung hingga saat ini pada sebagian kalangan yang mengadopsi “sampah-sampah” epistemologi filsafat Barat, hingga yang meneguhkan sains sebagai “dewa baru” mereka. Disisi lain, masalah ini tidak dapat diatasi oleh Gereja karena memang tidak memiliki konsep yang mampu mengatasinya.

Namun, pada khasanah tradisi intelektual Islam, yang merujuk kepada Al-Quran, persoalan ini telah selesai 14 abad yang lampu, ketika Al-Quran memberikan penjelasan tentang kesalahpahaman kaum Yahudi-Kristen (Yudeo-Chsitianity) maupun Katkolikhisme memahami masalah ini, dan justru terjebak dalam struktur neo-platonisme semata disatu sisi, dan pada sisi lain ilmuan terperangkap dalam atus Aristotelianisme.

Al-quran telah mengatasi hal demikian itu, sehingga dalam tradisi Islam tidak ada jejak sekulsrisme. Al-Quran telah mengatasi dengan baik persoalan ini, dan berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka yang warisan mereka masih kita nikmati dewasa dalam memajukan ilmu pengetahuan.

Karena itu, program deradikalisasi dalam rangka moderasi beragama yang dilakukan pemerintah terhadap umat islam, yang salah kaprah itu, mestinya diberikan kepada pemerintah yang tidak memahami Al-Quran dan menggagas program tanpa basis pengetahuan yang memadai. Program itu seperti yang kita saksikan justru menimbulkan antagonisme, bahan tertawaan dari mereka yang memahami persoalan dengan benar.

Semoga catatan ini dapat menjadi bahan renungan, tertutama bagi para pengambil kebijakan, para akademisi yang ikut bermain dalam program salah kaprah itu.

Dalam perspektif yang lebih luas lagi, konsep tentang “alam pemisah” ini berlaku secara universal pada seluruh ciptaan Allah, dimana didalam semua itu terdapat “tanda-tanda kehadiran-kekuasaan-Nya” bagi para ulil al baab.

Ajaran Islam itu washatiyyah. Allah turunkan sudah dalam wujud yang sempurna. Namun Allah ingatkan bahwa yang dapat “menyentuh” atau memahami makna-makna Al-Quran itu hanya mereka yang telah Allah “sucikan hatinya”. Sebagaimana firmannya dalam surah al-Waqiyyah, La yamassuhu illal mutahharruun

Karena itu, ajaran Islam sama sekali tidak memerlukan “moderasi“. Yang diperlukan adalah pahami Al-Quran itu dengan baik, dan temukan keseimbangan ajaran itu, washatiyyah dari ajaran Islam itu.

Kepada para dai’ ustadz kami juga berdoa kepada Allah, agar dimudahkan memahami Al-Quran, agar masyarakat kita memperoleh informasi yang benar dari Alquran.

Kepada kita semua semoga Allah swt senatiasa memberikan bimbingannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar