Jakarta, Hajinews.id – Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi, mewanti-wanti bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) bisa menjadi jebakan utang China bagi Indonesia. Hal itu dikemukakannya setelah pemerintah memutuskan membuka pintu pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Aturan yang melandasi dibolehkannya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dibiayai APBN adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang disahkan Presiden Joko Widodo.
“Kereta Cepat Jakarta-Bandung terindikasi masuk ke dalam jebakan utang atau debt trap. Salah satu indikasinya adalah ini awalnya (proyek dengan skema) business to business kemudian menjadi pendanaan APBN dengan pembengkakan biaya yang sangat luar biasa,” kata Bhima dilansir dari kanal Youtube tvOneNews pada 6 Desember 2021.
Bhima kemudian menjelaskan bagaimana proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sewaktu-waktu bisa menjadi jebakan utang bagi Indonesia.
“Ketika proyek mengalami masalah, atau proyek mengalami kenaikan biaya yang luar biasa, maka ini akan menjadi jebakan (utang) karena Indonesia kemampuan bayarnya melemah dan mau tidak mau harus meminta pinjaman lagi. Di sinilah debt trap bekerja,” tuturnya.
Bhima menjelaskan, hal yang paling dikhawatirkan dari bertambahnya pinjaman utang bukan soal seberapa besar bunganya.
“Melainkan adanya konsesi-konsesi lain yang akhirnya harus diberikan kepada pihak kreditur (China),” katanya.
“Debt trap sangat merugikan perekonomian Indonesia karena yang menanggung beban utang dan pengalihan aset adalah warga negara Indonesia dalam beberapa puluh tahun ke depan,” sebutnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel juga mengkritik penggunaan APBN untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Rachmat Gobel mengatakan, seharunya APBN tidak digunakan untuk pembiayaan kereta cepat karena sejak awal pun kesepakatannya adalah business to business.
Seperti Bhima, Rachmat Gobel pun mengkhawatirkan akan terjadi pembengkakan biaya di tengah jalan.
“Kita tidak tahu apakah akan ada kenaikan lagi atau tidak. Yang pasti, hingga kini sudah bengkak 2 kali. Kondisi ini sudah berkebalikan dari tiga janji semula serta sudah lebih mahal dari proposal Jepang. Padahal dari segi kualitas lebih bagus Jepang,” ucap Rachmat dikutip hajinews.id dari Antara pada 30 Oktober 2021.
Rachmat menyebutkan, pemerintah seharusnya bisa mengantisipasi secara pasti berbagai risiko yang mungkin terjadi dan menyebabkan pembengkakan biaya.
“Jangan sampai nanti minta tambahan duit lagi. Seolah bangsa ini diakali pelan-pelan,” ucap Rachmat.***