RUU Ibu Kota Negara, Basa Basi Politik

RUU Ibu Kota Negara
RUU Ibu Kota Negara

Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS

Hajinews.id – Kota adalah simbol kemajuan peradaban sebuah masyarakat. Ciri pokok sebuah kota adalah perdagangan barang dan jasa. Makin banyak ragam barang dan jasa yang diperdagangkan makin canggih peradaban tersebut. Diperlukan regulasi dan administrasi nya agar semua transaksi di kota tersebut dapat dilakukan dengan efisien, aman dan dapat diandalkan serta berkeadilan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Begitulah wujud sebuah kota merupakan cermin dari budaya masyarakatnya. Kekumuhan sebuah kota adalah cermin kekumuhan alam pikir masyarakatnya, terutama para pengelolanya yang dipilih oleh warga kota tersebut. Kemacetan, polusi, banjir, dan kekumuhan kota sesungguhnya mencerminkan kecarutmarutan alam pikir pengelola dan warga kota itu.

Kota sebagai sistem yang dinamis memerlukan kapasitas administrasi publik yang memastikan kepentingan warga kota sebagai publik dilayani dengan cara terbaik. Administrasi publik bagi masyarakat kota yang majemuk akan menjadi kunci bagi kreativtas kota itu untuk menciptakan berbagai nilai tambah yang menjadikan warganya bebas dari kemiskinan, kebodohan, kesakitan, kemacetan dan kebanjiran.

Kreatifitas kota itu ditentukan oleh 3 hal. Pertama adalah kolam talenta yang tersedia di kota itu. Warga yang terdidik, terlatih, beradab dan berakhlaq akan menjadi kunci. Yang kedua adalah infrastruktur teknologi. Teknologi ini adalah semua kompleks peralatan yang menyusun kemampuan kota itu melakukan proses nilai-tambah secara berkelanjutan. Ini mensyaratkan teknologi yang konvivial : mendorong kreativitas, berenergi rendah, memperkuat kemandirian, menciptakan lapangan kerja bagi manusia, serta mempromosikan kesehatan. Yang ketiga adalah kemajemukan yang harmonis sekaligus damai. Makin plural warga kota, tapi sanggup hidup dalam perbedaan secara damai, makin kreatiflah kota itu.

Ibukota jelas bukan sekadar besaran property dengan lahan dan bangunan yang indah dan megah dengan kecanggihan prasarana fisiknya. Bukan. Ibukota adalah sebuah institusi administrasi publik yang canggih agar kota itu tumbuh secara organik dengan dukungan ekosistem kota yang terjaga. Sebagai sebuah kompleks administrasi publik, investasi publik berupa kota itu hanya akan value for money jika birokrasinya bersih, operator-operatornya kompeten. Jika tidak maka investasi itu hanya value for monkeys.

Mencermati perkembangan negeri kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa ini, saya mencatat bahwa telah terjadi maladministrasi publik yang makin luas dan makin berbahaya sehingga mengancam negeri ini sebagai Republik : sebuah negara yang dibangun untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan segelintir elit politik dan ekonomi. Korupsi hampir selalu menyertai maladministrasi publik di mana regulasi dan hukum diciptakan bukan untuk kepentingan publik tapi untuk kepentingan segelintir penguasa dan konco-konconya.

Kalimantan dan juga banyak pulau di Indonesia sudah lama menderita salah urus. Penduduk penghuni pulau-pulau itu nyaris hanya menjadi penonton saat lahan-lahan luas di sekitar mereka dikonversi habis-habisan menjadi kawasan sawit dan beragam tambang sejak batu bara hingga tembaga oleh korporasi milik para taipan. Kini kawasan ini berubah menjadi kawasan bencana akibat ulah korporasi-korporasi tersebut. Penguasa dan oligarkinya di Jakarta sudah lama memandang pulau-pulau itu sebagai assets sementara penduduk di sekitarnya hanya sebagai liabilities yang tentu saja expendable.

Bukti-bukti kemerosotan administrasi publik selama paling tidak 5 tahun terakhir makin meyakinkan saya bahwa selama kota-kota kita hanya dilihat sebagai property oleh para penguasa dan perencana pembangunan, maka kita tetap akan menyaksikan ketimpangan sosial dan kesenjangan spasial yang makin buruk. Negeri ini makin tidak merdeka, tidak berdaulat, tidak bersatu, apalagi adil dan makmur.

Sulit untuk menolak kesan bahwa pembahasan RUU Ibu Kota Negara yang kini berlangsung di DPR hanya basa-basi politik belaka. Jika substansinya hanya indah di atas kertas Naskah Akademik, tapi kekuatan sosiologis yang mendorong proses-proses maladministrasi publik ini masih bercokol di parlemen, maka para elite politik dan para taipan akan menerabas syarat formil pembahasan RUU Ibu Kota Negara ini.

Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Gunung Anyar, 9/12/2021

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *