Hati Laksana Cermin

Hati Laksana Cermin
Hati Laksana Cermin

Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – Al-Gazali dalam Misykat Al-Anwar mengumpakan hati ibarat cermin. Betul, tapi ketika Beliau mengatakan cermin itu bisa berkarat, sehingga hati dikatakan bisa pula berkarat, kurang tepat. Cermin itu tidak bisa berkarat seperti halnya Hati tidak bisa berkarat! Lain halnya dengan besi. Besi bisa berkarat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya qalbu-qalbu benar berkarat, seperti besi yang berkarat, lalu yang bisa yang membuatnya mengkilap adalah dzikr dan bacaan Al-Qur’an”. Hadits ini dinukil oleh Al-Bayhaqi dan kitab, Syu’ab al-Iman, bab 19 no. 1863.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dengan demikian bukan bacaan selain Al-Quran yang bisa mengobati kerusakan hati.

Menurut Ibnu Arabi, “karat” yang dimaksud oleh hadits Nabi SAW diatas, bukanlah kabut berupa kebodohan, kesedihan atau kegelisahan (takha) yang muncul menutupi qalbu. Tetapi qalbu mengalami “karatan” jika qalbu tersibukkan oleh ilmu tentang sebab-sebab (asbab) sekunder, atau yang diterima selain dari Allah swt. Maka penerimaannya, kecintaannya, kesibukannya dikarenakan ilmu yang tidak bersumber dari Allah itulah yang menutupi permukaan qalbu, karena ia menjadi penghalang untuk tajalli Al-Haqq kepada qalbu. Namun karena kehadiran Ilahi senantiasa ber-tajalli dengan tanpa henti, maka tidak mungkin terdapat hijab yang bisa menghalangi kita dari-Nya sama sekali. Hanya saja ketika hati terhijab, dan tidak menerima tajalli al-haqq, itu dikarenakan hati itu sedang menerima sesuatu yang lain. Penerimaan hati terhadap sesuatu yang lain dari tajalli Allah dalam Al-Quran kadang disebut karat atau “sada”, kadang disebut tutupan atau “kinn” (QS. 41: 15), gembok atau “qufl” (QS. 47: 24), kebutaan atau “ama” (QS. 22: 46) atau “kotoran yang menutupi” atau ran (QS. 83: 14).

Jika diumpamakan tajalli al-haqq itu ibaratnya adalah matahari, dan hati itu ibaratnya adalah bulan, maka sesungguhnya hati itu tidak pernah tidak menerima tajalli al-haqq, seperti bulan yang selalu menerima limpahan cahaya matahari. Namun, jika ada awan tebal atau kabut menghalangi cahaya matahari atau cahaya bulan ini, bumi menjadi gelap. Gelapnya bumi karena terhalangnya cahaya bulan atau cahaya matahari oleh kabut tebal, bukan berarti bulan tidak lagi memantulkan cahaya matahari. Hanya saja cahayanya terhalangi oleh kabut tebal tadi.
Demikianlah Allah swt memberikan perumpamaan dalam firman-Nya:

فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِى السَّمَاۤءُ بِدُخَانٍ مُّبِيْنٍ

fartaqib yauma ta’tis-samā’u bidukhānim mubīn

“Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas,” (Q.S Ad-Dukhan [44] : 10)

Oleh sebab itu, jangan heran jika tidak sedikit orang yang rajin menimba ilmu tentang sebab-sebab (sains), tapi hatinya tidak menerima tajalli dari Al-Haqq, justru menjadi atheis, atau justru dengan ilmunya itu menyeretnya melakukan kerusakan di muka bumi.

Dengan demikian, pahamilah bahwa qalbu sesungguhnya itu selamanya terfitrahkan untuk senantiasa berkilau, bersih, mengkilap dan jernih. Setiap qalbu di dalamnya kehadiran Ilahi dapat bertajalli. Dan inilah yang disebut sebagai tajalli dzati, maka qalbu itulah pemilik musyahadah, insan yang tersempurnakan, pemilik ilmu atau “alif dzat” dalam diri manusia. Lalu dari tajalli dzat ini ditangkap oleh akal dan memunculkan tajalli sifat-sifat. Sehingga kita bisa membedakan sesuatu melalui sifat dari sesuatu. Lalu dari kehadiran tajalli sifat-sifat inilah yang menentukan tajalli af’al atau perbuatan.

Dengan demikianlah jelaslah bahwa jika ada “kabut” yang menutupi kehadiran tajalli al-Haqq, maka akal tidak akan menerima tajalli sifat-sifat, sehingga wujud perbuatan tidak akan sesuai dengan tajalli dzat yang diterima oleh hati.

Kedua; hati jika diibaratkan sebagai cermin yang memantulkan cahaya, maka perlu dipahami bahwa semua permukaan cermin memantulkan cahaya. Tidak hanya dibagian tertentu dari permukaan cermin itu. Jika diibaratkan bulan, maka ia adalah purnama. Berikutnya, pahamilah pula bahwa cermin yang memantulkan cahaya itu terdapat dua sisinya. Sisi yang dapat memantulkan cahaya dan sisi yang tidak dapat memantulkan cahaya.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw dalam doa Beliau; “Wahai Sang Pembolak-balik qalbu, tetapkanlah qalbu hamba dalam agama-MU”. Juga dalam sabda Beliau SAW lainnya: “Qalbu seorang mukmin berada di antara dua jari dari jari jemari Allah swt. Sebagai ibarat atau perumpamaan betapa cepat perubahan dari iman seseorang disebabkan tertutupnya qalbu seseorang ketika tajalli al-haqq tertutupi oleh sebab (asbab) adanya ilmu yang diterima hati, dari selain Allah.

Allah swt berfirman:

faalhamaha fudjuuraha, wa taqwaaha

“Dia mengilhamkan kepada jiwa kesesatan dan ketakwaan”. (QS. 91:8)

Jiwa akan mengalami kesesatan jika hati tertutupi, ibaratnya sisi cermin yang tidak dapat memantulkan cahaya. Dan jiwa akan memperoleh peningkatan kesadaran (taqwa), jika ibaratnya sisi cermin yang dapat memantulkan cahaya yang sedang bersinar. Atau dengan kata lain, jika tidak terdapat kabut tebal yang menghalangi cahaya matahari disiang hari atau cahaya bulan dimalam hari.

Doa Nabi Muhammad saw diatas, menjadi petunjuk agar orang mukmin senantiasa takut dan penuh harap kepada Allah agar sisi hati mereka yang senantiasa mematulkan cahaya jangan dibolak-balik dengan menghadapkan sisi yang tidak dapat memantulkan cahaya.

Demikianlah bagaimana kita memahami apa makna ungkapan “hati laksana cermin”.

Sebagaimana doa Nabi diatas, kita pun berharap semoga Allah swt, Sang Pembolak-balik qalbu, menatapkan qalbu kita senantiasalah dalam agama-Nya.

wallahu yaqulu l’haqqu wa huwa yahdi sabila(QS. 33:4)

Allahumma shalli ala Muhammad.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *