Pemaksaan Vaksin, Melanggar HAM

Pemaksaan Vaksin, Melanggar HAM
Pemaksaan Vaksin, Melanggar HAM
banner 400x400

Oleh: Abdullah Hehamahua

Hajinews.id – China, melalui pejabat dan lembaga tertentu, merampas hak asasi manusia rakyat Indonesia dengan instrumen virus corona. Umat Islam dilarang ke masjid, mushala, dan lapangan untuk shalat. Mereka diteror agar mau divaksin. Bahkan, anak-anak pun divaksin. Tanpa vaksin, orang tidak boleh naik pesawat, kereta api, kapal laut. Mereka juga tidak boleh ke hotel dan supermarket. Ini adalah pelanggaran HAM serius. Sebab, kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UUD 45. Komnas HAM harus turun tangan sebelum lahir pembangkangan rakyat secara nasional. Apakah peristiwa 1967 dan 1998 yang melengserkan presiden, berulang.? Tanyakan rumput yang bergoyang di kampus.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Indonesia dan HAM

Hak asasi manusia paling utama adalah beragama. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya melalui agama yang diturunkan-Nya. (Lain halnya dengan pengikut Darwin yang percaya, manusia berasal dari monyet). Itulah sebabnya, UUD 45, pasal 29 ayat (1) menegaskan, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya, Indonesia adalah negara agama. Bukan negara kapitalis, komunis atau sekuler.

Aplikasinya, negara menjamin setiap warganegara memeluk agama dan menjalankan syariat agamanya. Hal ini tertulis dalam pasal 29 (ayat 2), UUD 45. Inilah HAM tertinggi yang dirumuskan ‘founder fathers’ kita. Sebab, empat orang dari Tim 9 yang menyusun dasar negara adalah ulama: H. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Abdulkahar Muzzakir, dan R. Abikusno Tjokrosoejoso.

Empat orang lainnya, sekalipun bukan ulama, tapi berasal dari komunitas yang kental keislamannya. Soekarno misalnya, murid Cokroaminoto, guru dan tokoh Islam Indonesia. Hatta, cucu kiyai terkemuka di Minangkabau, Syekh Abdurrahman. Yamin, orang Padang di mana di wilayah tersebut berlaku slogan: “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” (adat bersendi syariat dan syariat bersendi kitab Allah SWT). Achmad Soebardjoe, sekalipun beribu orang Jawa Barat, tapi bapaknya berasal dari Aceh, provinsi yang digelari “Serambi Makkah.” Satu-satunya nonmuslim adalah A.A Maramis, orang Manado yang terkenal fanatik kenasraniannya. Jadi, Maramis juga bukan ateis, komunis atau pengikut Darwin.

Islam mewajibkan setiap muslim yang baligh, shalat jum’at di masjid. Shalat wajib, lima kali sehari semalam. Nabi Muhammad minta laki-laki shalat di masjid. Namun, Pemerintah melarang umat Islam shalat jum’at. Shalat tarwih, Idul Fitri, dan Idul Adha, ritual sekali setahun, juga dilarang. Alasannya, agar tidak terjadi penularan virus China. Sikap pemerintah ini, selain melanggar HAM karena bertentangan dengan ketentuan pasal 29 UUD 45, ia juga sangat aneh.

Keanehan pertama, disuruh pakai masker dan membuat jarak. Bukankah jika mengenakan masker, penularan tidak terjadi.? Lalu, untuk apa harus membuat jarak.? Jika tidak berkerumun alias membuat jarak, lalu untuk apa harus pakai masker. ?

Rentetan keanehan lain, pengemudi atau penumpang di dalam mobil pribadi, harus mengenakan masker. Lebih tidak masuk akal, suami isteri yang tadi malam, di rumah, berangkulan, berciuman, bahkan berhubungan badan, dalam mobil pribadi, tidak boleh duduk berdekatan. Ketakutan berlebihan, membuat orang kurang waras. Bukan hanya perorangan. Namun, keluarga, kantor, kementerian, dan komunitas menjadi kurang waras. Kurang waras nasional. Bahkan, cenderung sakit jiwa.

Ketidakwarasan lain yang mencolok, jamaah yang mau shalat, mencuci tangan dengan dispektan yang disediakan di dalam masjid. Padahal, dispektan ini mengandung alkohol. Maknanya, wuduknya batal. Aplikasinya, shalatnya tidak sah. Ketidakwarasan lain, jamaah ketika sujud, tetap mengenakan masker. Padahal, hidung Rasulullah SAW menyentuh tempat sujud ketika shalat. Ada jamaah yang mengerti sunnah, tapi bermasker karena tidak mau dituduh teroris. Namun, ketika sujud, maskernya diturunkan. Jadi, hidungnya menyentuh tempat sujud. Bangkit dari sujud, masker dinaikkan lagi (teringat, ketika di masjid Nabawi, belasan tahun lalu, saya ditegur jamaah, orang Arab. Sebab, saya sujud dengan mengenakan masker).

Ketakutan menghantui pikiran sedemikian rupa sehingga mayoritas umat, MUI dan ormas Islam memfatwakan, shalat di masjid harus berjarak. Mereka menaati arahan WHO. Petunjuk Nabi Muhammad, diabaikan. Dampaknya, kelucuan terjadi di pelbagai masjid. Ada Imam, sebelum bertakbir, mengucapkan, “lurus dan buat jarak.” Ini imam WHO. Beliau takut dituduh radikal, radikul, atau teroris. Imam di masjid lain mengucapkan, “lurus dan sesuaikan.” Ini imam WHO yang kreatif. Beliau tidak mau kehilangan jamaah. Namun, beliau tidak mau juga dituduh teroris. Jadi, beliau ambil jalan tengah. Imam masjid di kampung mengucapkan, “lurus dan rapat.” Ini imam yang ikut Rasullah SAW. Beliau tidak ikut arahan WHO yang melanggar HAM.

Cara Virus Cina Menular

Secara sains, penyebaran virus China melalui ‘droplet’, yakni percikan bersin, batuk atau bicara. Maknanya, jika penderita virus China tanpa masker berada di hadapan kita kemudian batuk, bersin, atau bicara, maka percikan itu akan memasuki tubuh kita. Namun, hal itu tidak terjadi jika kita mengenakan masker. Kalau pun tidak bermasker tetapi lawan bicara bermasker maka kita tidak akan terpapar. Bahkan, jika orang berkerumun, asalkan tanpa berdesakan, berjarak dua meter misalnya, atau tidak berhadapan, sekalipun tanpa masker, tidak terpapar virus. Sebab, ‘droplet’ tersebut hanya mencapai 1,8 meter dan gerakannya horizontal ke depan. Kalau pun terpapar, seseorang akan baik-baik saja jika daya tahan tubuhnya tinggi.

Menko yang menangani kasus virus china, bukan dokter. Saya juga bukan dokter. Namun, saya muslim sehingga tau SOP shalat berjamaah. Salah satu SOP-nya, jamaah menghadap Ka’bah. Tidak ada orang shalat berjamaah, berhadap-hadapan. Maknanya, jika jamaah di belakangku, tanpa masker, batuk atau bersin, ‘droplet’nya akan mengenai punggungku. ‘Droplet’ itu akan melekat di punggung baju selama beberapa jam. Saya tidak bisa sentuh ‘droplet’ tersebut, kecuali bajunya dibuka. Beberapa jam kemudian, shalat lagi dan kukenakan kembali baju yang terkena ‘droplet’ tadi. Dua kemungkinan terjadi. Pertama, ‘droplet’ tersebut sudah kering dan virusnya mati. Kedua, ketika wuduk, jika virus dari punggung baju tadi masuk ke dalam hidungku, akan terkeluar. Syaratnya, wuduk ikut sunnah Rasulullah, yakni masukkan air ke dalam hidung sampai terasa di ubun-ubun. Virus akan keluar bersamaan dengan air yang dikeluarkan dari hidung.

Kiat Menghindari Virus China

Virus ini dapat bertahan selama beberapa jam di permukaan benda tertentu. Ada pula yang bisa bertahan beberapa hari. Namun, ia dapat dibunuh saat itu juga oleh disinfektan atau air dengan sabun. Maknanya, pulang dari masjid, mushalla, kantor, pasar atau kerumunan lain, basuh tangan dengan sabun, selesai masalah. Tidak perlu beli disinpektan. Menghemat anggaran rumah tangga.
Gejala orang yang terpapar virus china adalah demam, batuk, dan sesak nafas. Mirip gejala flu atau influenza. Sebab, virus china, salah satu bentuk flu. Ada sekitar dua juta virus di dunia. Maknanya, kiat menghindari dua juta virus adalah negara memproduk atau menyediakan dua juta vaksin. Apakah jika Jokowi menjadi presiden seumur hidup, bisa menyediakan dua juta vaksin.? Wong kepakarannya berutang. Sayur saja, impor. Garam pun impor. Padahal, 2/3 wilayah Indonesia adalah laut.

Kiat menghadapi dua juta virus, hanya kekebalan tubuh yang tinggi. Bukan vaksin. Sebab, ketika virus china bermetamorfosis, kita tidak dapat memperoduk puluhan, ratusan, apalagi ribuan vaksin dalam waktu singkat. Itulah sebabnya, pemerintah menggunakan polisi dan tentara, mengintimidasi rakyat, bahkan anak-anak untuk divaksin. Sebab, ketika virusnya bermetamorfosis, vaksin yang ada, daluwarsa. Tragisnya, menurut WHO, varian omicron lebih mudah menyerang mereka yang sudah divaksin. Beruntunglah mereka yang belum divaksin.

Manusia punya kekebalan pisik dan psikis. Kekebalan pisik diperoleh dari konsumsi makanan dan minuman yang memenuhi kriteria: empat sehat, lima sempurna, dan enam halal. Kekebalan psikis diperoleh dari shalat, shaum, dzikir, tadarus Al-Qur’an, sedekah, serta berperilaku saleh/salehah. Inilah yang terjadi dengan jamaah masjid di samping rumah saya. Selama dua tahun virus china, tidak ada jamaah aktif yang meninggal karena terpapar virus china. Ada tiga jamaah aktif, meninggal dunia, bukan karena virus china. Mereka dimandikan, dikapankan, dishalatkan, dan dikuburkan, ikut SOP Rasulullah SAW. Saya ikut menyolati dan mengantar jenazah sampai ke kuburan. Padahal, selama hadir virus china, masjid ini tidak pernah ditutup. Shalat lima waktu, jum’at, dan tarwih, ikut SOP Rasulullah yakni rapat, tidak berjarak. Hanya satu atau dua orang yang mengenakan masker.

Pola pemerintah menghindari virus china adalah vaksin. Hal ini sesuai dengan instruksi WHO. Malangnya, vaksin pertama yang digunakan adalah buatan China. Produk negara komunis ini juga tidak digunakan oleh masyarakatnya sendiri. Sebab, vaksin ini hanya memenuhi 50 persen standar WHO. Namun, BPOM menyebutkan, tingkat kemanjurannya, 65,3 persen. Apalagi, rakyat dibohongi dengan informasi, vaksin cukup dilakukan dua kali. Sekarang, perlu vaksin ketiga. Apakah ketika virus china berubah bentuk menjadi puluhan varian baru, maka rakyat harus divaksin sampai puluhan kali juga. ?

Pemerintah Melanggar HAM

Dari fakta dan informasi di atas, dapat disebutkan, pemerintah melakukan pelanggaran HAM secara serius. Sebab, pemerintah abai dalam memelihara kesehatan rakyat. Ini karena, UU Nomor 36/2009 mewajibkan pemerintah merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah juga bertanggung atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan serta segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisein, dan terjangkau. UU ini juga menetapkan, setiap orang berhak secara mandiri menentukan sendiri layanan kesehatan yang diperlukan. Bahkan UU No 29/2004 dan Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 menetapkan, pasien ketika menerima layanan dalam praktik kedokteran, mempunyai hak untuk menolak tindakan medis tertentu.

Pemerintah, selain melalaikan tugasnya sebagaimana diamanahkan UU No.36/2009, juga abai terhadap perintah UU No. 6/2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah, selain abai menyediakan layanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, juga tidak menanggung biaya makan minum selama karantina. Bahkan, kerjasama dengan konglomerat, memeras rakyat untuk karantina di hotel dengan biaya gila-gilaan, sampai mencapai belasan juta rupiah. Pada waktu yang sama, pejabat dapat melakukan karantina mandiri di rumah, sesuatu yang bertentangan dengan UUD 45.

Pemerintah, selain abai terhadap kewajibannya, juga secara kasat mata melanggar HAM. Pemerintah, melalui kewajiban Rapid Tes, Tes Anti Gen, PCR, dan vaksin telah menimbulkan rasa ketakutan dan ketidaknyamanan, baik dalam urusan kehidupan harian maupun ibadah ubudiah. Hal ini jelas bertentangan dengan UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit yang mengikut-sertakan masyarakat secara aktif tapi tidak mengandung paksaan. Apalagi, UUD 45 pasal 28 G ayat (1) dan pasal 28 I ayat (2) melindungi setiap warganegara, keluarganya, kehormatan, harta benda, rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif.

Simpulannya, pemerintah harus berheti meneror rakyat agar mau divaksin. Pemerintah juga harus menghentikan kewajiban test PCR berbayar. Jika tidak dihentikan, Komnas HAM harus segera turun tangan sebelum muncul pembangkangan rakyat secara nasional. (Depok, 24 Desember 2021).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *