Kenang-Kenangan Gambar Semar Untuk Pak Harto

Kenang-Kenangan Gambar Semar Untuk Pak Harto
Kenang-Kenangan Gambar Semar Untuk Pak Harto

Oleh: Didin Sirojuddin AR

Hajinews.id – PRESIDEN dan Ibu Tien Soeharto naik haji. Kabar yang mengejutkan tapi  membahagiakan banyak rakyat Indonesia. Saya, rakyat biasa, yang tak kelihatan dan diketahui orang pun, ikut bahagia. Karena bisa memberikan kenang-kenangan “kaligrafi gambar Semar untuk Pak Harto“.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Malam Selasa 8 Juli tahun 1991. Saya didatangi utusan PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia). Saya diminta bikin lukisan kaligrafi Surat ‘Abasa dalam figur Semar. Katanya untuk kenang-kenangan yang akan dihadiahkan kepada Pak Harto sepulang ibadah haji dari Tanah Suci. Kenapa harus Surat ‘Abasa dan mengapa tidak boleh selain gambar Semar? Saya degdegan. Membayangkan dapat kehormatan “bertemu” Presiden. Meski hanya lewat sebuah karya.

Surat ‘Abasa diturunkan berhubungan dengan Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat Nabi SAW yang tidak bisa melihat tapi hatinya suci dan sangat saleh. Sedangkan Semar adalah tokoh pewayangan yang dikenal sakti mandraguna dan arif bijaksana. Hatinya suci seperti Abdullah. Pak Harto sangat menyukai tokoh Semar. Bahkan mengidentikkan dirinya dengan Semar. Ada pula peristiwa Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tapi supaya g keliru, saya minta waktu 5 hari untuk mempelajari obyek yang akan dilukis. Saya ingin lebih tahu siapa tokoh Semar.

Teringat masa kecil suka nonton pertunjukan  Wayang Golek. Padahal, masih banyak jenis-jenis wayang lain seperti Wayang Batu, Wayang Beber, Wayang Gantung, Wayang Gedog, Wayang Kelitik, Wayang Kulit/Purwa, Wayang Mbeling, Wayang Potehi, Wayang Sadat, Wayang Suket, Wayang Suluh, Wayang Topeng, dan Wayang Wong. Dalam kisah MAHABHARATA dan RAMAYANA, Ki Lurah “Semar” Badranaya atau Ki Lurah “Semar” Nayantaka atau Janggan Smarasanta tidak tercantum namanya. Sebab, tidak termasuk bagian dari dua kisah pewayangan yang berasal dari Negeri India tersebut. Kisah Semar disisipkan oleh para wali di Tanah Jawa untuk melancarkan dakwah Islam. Tapi Semar ditokohkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para ksatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana.

Dalam kisah sisipan ini, Semar  adalah dewa kemanusiaan. Dewa ada 3: Semar, Batara Guru, dan Togog. Semar yang memegang jimat Kalimusyadah sebagai pembimbing pihak yang haq yaitu Pandawa diturunkan ke dunia untuk mengawal kebenaran yang dibawa oleh Pandawa. Musuhnya adalah Togog, adiknya sendiri, yang berpihak kepada Kurawa.

Mau mulai menggores ‘Abasa Semar, e, saya malah semakin tertarik dengan ayahnya para punakawan  Cepot Astrajingga, Petruk Dawala, dan Nala Gareng ini. Dalam kedudukannya sebagai Dewa, Semar adalah Batara Ismaya yang berasal dari “Isma” + Ya = “Isma” + Ku = nama Allah atau “Asma-Ku”. Menyebut Asma Allah berarti ibadah. Tokoh Ismaya atau Semar menjadi lambang ibadah, yaitu dengan selalu menyebut Asma Allah. Semar dari kata “mismar” (مسمار) yang berarti “paku” yang mengandung arti “tetap” atau “teguh” (dalam menjalankan ibadah). Sedangkan Badranaya (Badra = kebahagiaan, Naya = kebijaksanaan = politik). Jadi arti seluruhnya “politik bijaksana yang menuju kepada kebahagiaan” yaitu “memimpin rakyat melaksanakan ibadah”. Semar juga artinya “sengsem” + samar = “cinta kepada barang yang samar atau gaib” yaitu Allah subhanahu wata’ala.

Setelah puas membaca cerita Semar, kaligrafi hitam putih pun langsung digores:

عبَس وتولّى • أن جاءَه الأعمَى • ومايُدْرِيك لعَلّه يزّكّى

Artinya: “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling • karena seorang buta (Abdullah bin Ummi Maktum) telah datang kepadanya • Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa).”  (QS ‘Abasa/80: 1-3)

Lukisan tersebut diaplikasi ke fibre glass “dan Pak Harto senaaang sekali melihatnya,” kata pemesan dari Pertuni.

Tapi 3 bulan kemudiah saya terima surat dari Tasikmalaya yang minta maaf karena telah menggandakan dan memasarkan lukisan tersebut dengan mencantumkan nama dia sebagai pelukisnya.

Duuuuuuh, aya-aya wae.

GAMBAR

DSAR: Abasa wa Tawalla, (20 x 30 cm, black ink on art paper, 1991)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *