Buya Syafii Maarif, Sosok Demokratis yang Sederhana

Buya Syafii Maarif
Buya Syafii Maarif

Hajinews.id – Tahun 1988, saya masih duduk di semester 4 Fakultas Hukum UII. Di semester itu, ada mata kuliah dasar yang harus diambil mahasiswa, salah satunya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) ini mata kuliah hasil kreasi Orde Baru, tujuannya jelas agar setiap siswa dan mahasiswa mengenal “sejarah” bangsanya. Sejarah dimaksud sebagai konstruksi kekuasaan Orde Baru. Karena semasa SMA sudah mendapat mata pelajaran itu, saya sebenarnya sangat enggan untuk mengikuti mata kuliah PSPB, karena saya menganggap sudah khatam pelajaran PSPB itu.

Tapi saya heran, dosen pengampu mata kuliah itu, DR. Syafii Maarif. Nama Pak Syafii sudah sering saya baca saat masih sekolah. Dia bersama Amien Rais, Kuntowijoyo, Nur Cholis Madjid, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rahmat, merupakan gerbong aras baru pemikiran Islam di Indonesia. Mereka tokoh-tokoh kritis yang sering bersebrangan dengan penguasa Orde Baru.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dengan latar belakang seperti itu, tentu saya heran, kok malah Pak Syafii yang mengajar mata kuliah “konstruksi” kekuasaan?

Rasa penasaran itu membuat saya datang ke ruang kelas lebih awal, karena ingin duduk di deretan depan bangku kuliah. Di situ saya mulai mengenal Pak Syafii. Gaya mengajarnya santai, bahasanya efektif, sabar, dan cara penyampaian materinya merangsang mahasiswa untuk berpikir kritis, tidak textbook.

Saya bersyukur mengambil mata kuliah yang diampu Pak Syafii. Karena beliau mengenalkan kami buku-buku seperti Di Bawah Bendera Revolusi-nya Soekarno, The Spirit of Islam-nya Syed Ameer Ali, New World of Islam-nya L Stodard, karya-karya Deliar Noer, karya-karya Mohammad Iqbal, dan sebagainya.

Mata kuliah PSPB yang diampu Pak Syafii, merupakan sedikit dari mata kuliah yang saya selalu hadir, tidak pernah bolos. Mata kuliah lain yang saya tidak pernah absen adalah mata kuliah yang diampu KH Azhar Basyir. Keduanya tokoh dan pernah menjadi Ketua PP. Muhammadiyah.

Menjelang ujian semester, biasalah mahasiswa, tanya kisi-kisi soal ujian. Beliau menjawab santai, “ujian open book, bahannya dari buku-buku yang sudah saya referensikan.”

Saat ujian, saya masih ingat, ada kawan yang menerjemahkan kata-kata Pak Syafii secara harfiah, datang ke kampus dengan membawa tas rangsel besar, berisi seluruh buku yang direferensikan. Astaga…

Pertemuan saya dengan Pak Syafii Maarif tidak berhenti di ruang kuliah. Ketika itu saya mulai aktif di LPM Keadilan, FH UII. Saya beberapa kali berkunjung ke rumah beliau di Nogotirto untuk wawancara atau sekedar diskusi. Menariknya, Pak Syafii hanya mau ditemui setelah sholat Shubuh di masjid yang tak jauh dari rumahnya. Jadi, kalau mau ketemu beliau, kami harus rela bangun sebelum subuh, dan sudah sampai di masjid sebelum sholat. Bukan hal mudah bagi anak muda, mahasiswa, seperti saya.

Setelah selesai kuliah, dan saya sudah mulai menjalankan bisnis penerbitan, saya sempat bertemu beliau beberapa kali. Satu kali di rumah seorang kawan penerbit yang kebetulan menjadi tetangga Pak Syafii. Waktu itu saya mencoba bertanya pada Pak Syafii tentang benarkah BPUPKI itu merupakan representasi seluruh wakil bangsa Indonesia, atau hanya merupakan kolega Soekarno? Mendengar pertanyaan itu, Pak Syafii menatap tajam mata saya, lalu menggelengkan kepala. “Saudara, cara berpikir saudara itu subversif.”

Setelah itu, Pak Syafii menjelaskan konteks sosial-politik Indonesia ketika itu, dan kegentingan kondisi yang menyebabkan BPUPKI harus segera dibentuk dan bersidang.

Pertemuan berikutnya 2015, saat kami satu pesawat dari Jogja menuju Jakarta. Pak Syafii berangkat sendiri, tidak ada pengawal atau pendamping. Karena saya tahu beliau dekat dengan Presiden Jokowi, saya bermaksud menyampaikan kegelisahan publik terhadap presiden. Kali ini Pak Syafii dengan senyum khasnya menjelaskan tentang tidak mudahnya Presiden Indonesia untuk dalam waktu singkat mengubah keadaan. “Kita harus bersabar, karena perubahan berjalan secara bertahap. Dan jangan pernah pesimis terhadap apapun.”

Beberapa bulan berikutnya, saya bersama kawan-kawan pengurus KAHMI DIY mendatangi beliau di masjid Nogotirto. Kami berbincang santai sambil makan tengkleng yang memang pada hari-hari tertentu disediakan oleh pengurus masjid untuk disantap bersama jamaah.

Dari beberapa kali kesempatan berjumpa dengan Buya Syafii, kesan yang mendalam atas pribadi beliau yang Egaliter, demokratis, teguh pendirian dan tidak pernah takut memegang keyakinan. Saat Orde Baru, semua PNS wajib upacara bendera dengan pakaian Korpri. Buya Syafii menolak negara ikut campur dalam urusan privat, termasuk soal pakaian, karena itu beliau tidak pernah mau pakai pakaian Korpri. Penolakannya itu tentu mempengaruhi karirnya sebagai dosen.

Selamat jalan Buya Syafii Maarif, kesederhanaan sikapmu, keteguhan pendirianmu, ketulusan dan kejujuranmu, semoga bisa menjadi legacy bagi para penerusmu. (SUG)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan