Bila Politik Memecah Belah, Haedar: Muhammadiyah Harus Terdepan Menyatukan Bangsa

Hajinews.id — Cita-cita luhur proses demokrasi dan sistem politik untuk menyatukan bangsa dan mensejahterakan rakyat jauh panggang dari api. Implementasi sistem politik melalui proses Pemilihan Umum (Pemilu) justru memecah belah bangsa yang sudah mulai bersatu.

Tepatnya terjadi pada Pilpres 2014 lalu, di mana rakyat berhadap-hadapan dalam dua kubu dukungan kepada dua pasangan capres-cawapres. Ironisnya, polarisasi pokitik tersebut berlanjut pada Pilpres 2019. Menjelang Pilpres 2024 mendatang, akankan perpecahan tersebut masih berlanjut atau segera berakhir?

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dilansir Muhammadiyah.or.id, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan, kehadiran Muhammadiyah merupakan bentuk upaya dalam menjadikan khair al ummah (umat yang terbaik). Karena itu, dalam situasi apapun termasuk menghadapi potensi pembelahan akibat Pemilu 2024, Muhammadiyah berdiri paling depan menyatukan bangsa.

Haedar menjelaskan, peran besar Muhammadiyah dalam upaya penyatuan Bangsa Indonesia telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dia mencontohkan, peran Kader Muhammadiyah Jenderal Besar Sudirman yang menjadi pelopor dan simbol perjuangan bangsa dalam mengusir penjajah, dan peran Ki Bagus Hadikusumo yang rela mencoret tujuh kata diubah menjadi Tauhid atau Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

“Inilah bentuk dari pemihakan dan kepedulian, bahkan kita menjadi bagian dari pendiri republik ini. Maka, entah 2024, atau seterusnya, kalau ada hal-hal yang retak karena politik – urusan politik, kita Muhammadiyah harus berada di depan menyatukan bangsa,” kata Haedar dalam Silaturahmi Keluarga Besar Muhammadiyah Pekalongan, Ahad (19/6) di Kompleks Muhammadiyah Boarding School (MBS) Muhammadiyah Kelegen, Pekalongan.

Haedar menghimbau seluruh warga persyarikatan supaya jangan karena urusan politik bahtera besar yang bernama Muhammadiyah menjadi retak. Lebih khusus, Haedar juga mengajak menjadikan Muktamar ke-48 Muhammadiyah – ‘Aisyiyah harus menjadi teladan bagi permusyawaratan-permusyawaratan organisasi lain, bahkan pemerintah.

“Aspirasi boleh bermacam-macam, tapi kita jaga marwah dan muruah Muhammadiyah, itu tradisi kita, itu karakter kita, itu kepribadian kita,” imbuhnya.

Muruah dan maruah Muhammadiyah menurutnya merupakan pijakan Muhammadiyah dalam menjalin relasi – silaturahmi – baik dengan sesama organisasi non pemerintah, maupun dengan pemerintah. Oleh karena itu, kritik yang disampaikan oleh Muhammadiyah melalui kader dan pimpinannya kepada pemerintah, menurut haedar bukan sebagai bentuk kebencian.

“Tidak perlu kalau diingatkan, diberi masukan itu merasa bahwa seakan-akan bahwa Muhammadiyah tidak mencintai negeri, justru mencintai negeri. Memang Muhammadiyah punya kepribadian, kadang pernyataannya resmi, ada yang pernyataannya diatur perorangan, ada juga yang kadang langsung kita kepada para pihak”. Tuturnya.

Guru Besar Sosiologi ini menyatakan bahwa, tujuan Muhammadiyah adalah ingin menciptakan negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Cita-cita luhur tersebut menjadikan Muhammadiyah selalu hadir di tengah-tengah masyarakat, baik dalam bentuk pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan seterusnya.(dbs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *