Filosofi Wukuf

Filosofi Wukuf
Filosofi Wukuf
banner 400x400

Oleh: Ahmad Baihaqi

Hajinews.id Wukuf adalah salah satu rukun haji. Salah satu rukun dari sekian banyak rukun haji yang paling utama. Wukuf bermakna berhenti. Berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu artinya berhenti atau berdiam.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Secara Syar’ie, wukuf itu berdiam diri di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah dimulai sejak tergelincirnya matahari (setelah jam 12 siang) waktu dzuhur hingga waktu maghrib dengan tata cara yang telah ditentukan secara syar’ie. Padang Arafah adalah salah satu daerah di seputar Mekkah.

Secara maknawi, wukuf berarti menghentikan seluruh kesibukan akal dalam rangka bercermin, mengintrospeksi dan mengenal diri untuk kemudian mengenal Allah. Arafah secara maknawi bermakna ma’rifah, yaitu mengenal. Ia berasal dari kata kerja ‘arafa-ya’rifu yang artinya mengenal. Dalam hal ini, makna mengenal diarahkan untuk hanya sekedar mengenal Allah.

Rasulullah saw bersabda :

الحَـجُّ هُوَ عَـرَفَةٌ

“Haji adalah wukuf di Arafah

Wukuf adalah puncak dari sekian banyak rangkaian ibadah haji. Karena itu, Rasulullah saw memberikan sinyal tentang penisbatan wukuf kepada ibadah haji itu sendiri. Haji itu ya wukuf di Arafah. Mengapa ia menjadi puncak dari ibadah haji ?

Sesuai dengan namanya bahwa wukuf adalah berdiam, berkontemplasi, bertafakkur, dan bertadabbur. Berdiam di sini bertujuan untuk mengenal dan membaca diri. Mengenal diri mengandung implikasi logis bahwa ibadah haji itu bermakna juga mengenal Allah. Tidak ada hal yang lebih tinggi dari mengenal Allah. Jika ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang paling tinggi derajatnya, maka wukuf menempati derajat yang paling tinggi dari sekian banyak aktifitas ibadah haji.

Setelah sebelumya memakai pakaian ihram yang bermakna mengharamkan diri dari segala yang dilarang dalam aturan-aturan ihram, maka wukuf adalah perjalanan selanjutnya dari proses pengharaman diri itu. Artinya, strategi untuk mengenal Allah hanya dapat dicapai semata-mata dengan menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang (oleh Allah). Pelarangan-pelarangan ketika berihram adalah simbolisasi tentang sebuah pencapaian keadaan fitrah, yakni keadaan asli dimana Allah swt sendiri menjadi Pengambil ikrar akan sebuah kesaksian. Kesaksian awal tentang sebuah pengakuan hamba dan statemen Tuhan. Statemen Allah swt itu adalah :

dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhan kalian?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami telah menyaksikannya”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (al-A’raf/7: 172).

Mengapa Tuhan mesti dikenali melalui wukuf ?

Wukuf di padang Arafah merupakan simbolisasi dari zona ruhani. Sebuah pola untuk berma’rifat. Tak ’kan ada sebuah pencapaian tanpa memberhentikan gerak kehidupan terlebih dahulu. Dan gerak kehidupan itu bertitik pusat pada akal pikiran. Memberhentikannya dalam gerak kehidupan bermakna mengembalikannya pada kondisi awal. Dari sinilah, seorang yang menjalankan wukuf memulai untuk bertaraqqi kepada alam asalnya.

Jendela terhadap dunia penampakan yang bertitik pusat pada akal pikiran itu terletak pada panca indera. Indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba, semuanya berpusat pada akal. Partikel-partikel dunia masuk melalui panca indera tersebut. Partikel-partikel dunia itulah yang membuat segala macam keramaian di dunia. Ia harus dikembalikan pada fitrahnya dengan cara menutup semua lobang panca indera melalui wukuf. Akal pikiran dimurnikan kembali sehingga ia tidak bergeser terlalu jauh.

Menghentikan gerak akal sementara waktu bertujuan untuk menenangkannya. Akal yang tenang akan tunduk pada jiwa yang tenang. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang bisa kembali kepada Tuhannya. Ke arah sanalah agama mengajarkan para pemeluknya agar senantiasa mencapai satu titik ketenangan yang bisa membawa dirinya kepada hakekat kejadian awal. Kejadian awal manusia adalah ikrarnya dalam mengenal Tuhan. “alastu birabbikum, qooluu balaa syahidnaa”, bukankah Aku ini Tuhan kalian, mereka berkata; “ya kami telah bersaksi”.

Akal yang tenang akan selalu tunduk pada jiwa yang tenang. Akal yang tenang akan mendapatkan suntikan energy, sehingga daya tampungnya menjadi lebih luas. Pandangannya tajam terhadap tanda-tanda alam. Sensitifitas kecerdasannya akan selalu membawa kemaslahatan bagi lingkungan dan alam semesta.

27. Hai jiwa yang tenang.
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
29. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku,
30. Masuklah ke dalam syurga-Ku. (al-Fajr: 27-30).

Gerak akal yang muncul dari panca indera, menjadikannya terbebani oleh persoalan-persoalan dunia. Dunia telah menarik fungsi akal dan mengikat kuat manusia sehingga ia menjadi bodoh, lemah dan terpuruk.

Belenggu dunia telah membawa akal sehingga ia tidak mampu berpikir untuk soal-soal yang sangat sederhana. Akal telah terpenjara oleh penampakan panca indera.

Sifat-sifat buruk yang muncul dan menjadi penyakit hati berasal dari dunia penampakan yang masuk dari panca indera. Kebencian, kedengkian, iri hati, sombong, riya, sum’ah, buruk sangka, sakit hati, dan penyakit-penyakit lainnya telah menjerumuskan manusia menjadi makhluk yang sangat kerdil dan terhina. Saat itulah manusia telah menjadi bodoh.

Belenggu dunia yang mengikat kuat akal pikiran manusia adalah berhala yang nyata. Ia bukan berada di luar diri, tetapi di dalam diri. Ia membentuk sebuah gambar yang membuat manusia menjadi senang ataupun susah. Gambar-gambar yang muncul di dalam bayangan akal pikiran telah membelenggu dan menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju Tuhannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *