Bukanlah Arafah yang Dulu Lagi

Bukanlah Arafah yang Dulu Lagi
Bukanlah Arafah yang Dulu Lagi
banner 400x400
Hajinews.id – Jamaah berkumpul di puncak Gunung Arafat yang dikenal dengan Jabal Rahmah, di Tenggara Kota Suci Mekkah

Saat Nabi melaksanakan haji wada’ di tahun 10 H, Nabi tidak saja mencontohkan bagaimana seharusnya haji dilakukan (manasik haji).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Nabi juga menarik batas geografis antara Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Ketiga tempat tersebut kelak dikenal dengan sebutan Masya’irul Haram.

Tempat ritual ibadah haji dilakukan.

Dari ketiga Masya’irul Haram, Mina menjadi tempat terdekat dengan kota Mekkah, diikuti Muzdalifah dan yang terjauh Arafah.

Di Mina dan Muzdalifah jamaah wajib bermabit (bermalam), sedang di Arafah tidak.

Meskipun menjadi yang terjauh dan tidak wajib bermabit, Arafah menjadi tempat yang dipilih untuk berwukuf.

Puncak pelaksanaan haji juga dimonumenkan Nabi di tempat ini.

Haji adalah Arafah, sebut Nabi dalam salah satu cuplikan khutbahnya di Jabal Rahmah, pusatnya Arafah dan tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa.

Selain wukuf dan berkhutbah, Nabi diikuti oleh sejumlah sahabat, juga memberi patok tapal batas Arafah.

Wukuf hanya sah dilakukan dalam batas-batas yang telah ditetapkan Nabi.

Luasnya ternyata tidak lebih dari 17,9 km persegi saja.

Di wilayah sempit itu, Nabi dan sahabat khidmat menjalankan wukuf saat haji wada’.

Di bawah sengatan matahari, tahlil dan talbiyah tak putus terucap dari lisan Nabi yang diikuti dengan gemuruh suara sahabat.

Abu Bakar pun berkisah, di hari itu Nabi wukuf dalam keadaan kumal, kusut dan penuh debu (sya’san ghubaran) menghamba kehadirat Allah.

Semua atribut duniawi yang melekat pada dirinya ditanggalkan.

Nabi tidak memakai tutup kepala dan tidak juga pakaian berjahit.

Arafah sekarang berubah 180 derajat dari masa Nabi.

Arafah bukan lagi padang gurun tandus, miniatur Mahsyar.

Arafah sekarang laksana destinasi wisata padang pasir yang sesak dengan tenda-tenda mewah milik amir-amir Arab.

Kasur-kasur empuk terbentang di atas karpet merah.

Deret Pepohonan berjejaran sepanjang jalan.

Makan dan minum melimpah seperti pasar.

Jama’ah haji pun menikmati seluruh fasilitas itu tanpa sikap risau dan gelisah.

Meskipun dulu di saat manasik di tanah air diajarkan, haji mabrur adalah haji yang meniru Rasul.

Jamaah haji segera beradaptasi dengan fasilitas “mewah” itu.

Saat terasa ada yang kurang, keluhan jadi andalan dan sabar mulai dikesampingkan.

Padahal syarat haji mabrur adalah sabar, sabar, dan sabar.

“Ustaz AC kok kurang dingin ya,” protes seorang jamaah wanita, yang membuat saya hampir tak percaya itu terucap oleh mereka yang sedang berwukuf di Arafah.

Hati kecilku yang nakal pun berkata, sebenarnya orang ini tamu Allah atau tamunya Raja Salman?

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *