Mahkamah Konstitusi Tidak Mengakui Kedaulatan Rakyat

Mahkamah Konstitusi
Dr. Ahmad Yani, S.H. M.H. (Ketua Umum Partai Masyumi)

Cara Oligarki Menguasai Istana

Beberapa partai politik juga telah mengajukan permohonan pengujian pasal 222 UU 7/2017. Mahkamah menerima Legal Standing Partai Politik. Diantaranya Partai Bulan Bintang diterima legal standing nya. Tetapi dalam pokok permohonan, Mahkamah menolak permohonan pemohon karena dianggap itu kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Jadi penentuan ambang batas itu adalah kewenangan Pembuat Undang undang, dalam hal ini Presiden dan DPR.

Disinilah ketidakkonsistenan MK dalam membuat putusan mengenai open legal policy atau tidak. Coba kita pelajari putusan pemilu serentak yang dibacakan 2014, kemudian dilaksanakan tahun 2019. MK menyatakan pemilu terpisah antara DPR dan Presiden itu adalah inkonstitusional. Padahal kalau menggunakan alasan yang sama, itu adalah open legal policy, sebab ada dalam pasal 22E ayat 6 yang menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut diatur mengenai pemilu dengan undang-undang”. Disatu sisi MK menyatakan pemilu terpisah antara Legislatif dan Pemilihan Presiden dan wakil presiden inkonstitusional, namun tidak mau memutuskan mengenai ambang batas presidential threshold.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Pertanyaannya darimana ketentuan 20 persen atau 25 persen angka threshold itu? Angka ini tidak terdapat dalam konstitusi, angka ini adalah pasal yang disusupkan untuk mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden oleh kelompok oligarki politik melalui partai- partai besar.

Perintah konstitusi tidak mendelegasikan “syarat menjadi presiden dan wakil presiden”, melainkan mendelegasikan “tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden” Untuk diatur lebih dalam Undang-undang. Artinya “syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden” adalah close legal policy, dan bukan open legal policy.

Jadi Mahkamah sebenarnya patut diduga sedang mempermainkan konstitusi untuk kepentingan oligarki dengan memanipulasi hak-hak konstitusional warga negara dalam menentukan pemimpin mereka. Mahkamah sebagai penjaga oligarki itu jelas dan nyata. Misalnya dalam pertimbangan hukum, Putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022. Yang di mohonkan oleh DPD RI, MK jelas mengakui ada peran oligarki dalam penentuan Capres. Tetapi MK enggan memutuskan untuk menghapus presidential threshold karena tidak ada jaminan sosiologis bahwa oligarki tidak berperan dalam pilpres.

Dapat dibayangkan, Mahkamah mengamini peran oligarki dalam penentuan Capres dan cawapres, tetapi mau membatasi peran mereka dalam penentuan presiden dan wakil presiden. Ini sebuah tragedi menurut saya, ditinjau dari perspektif konstitusi dan kedaulatan rakyat.

Pasal 222 Bertentangan Dengan UUD 1945

Secara jelas dan terang bahwa pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia. Ketentuan pasal pasal 1 ayat 3 UUD 1945 jelas menyebutkan “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Artinya kedaulatan rakyat itu dilaksanakan menurut ketentuan UUD bukan ketentuan lain yang justru merampas kedaulatan rakyat itu.

Salah satu instrumen kedaulatan rakyat adalah menentukan siapa calon pemimpin mereka melalui Pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik. Disitulah rakyat diberi kesempatan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, untuk memilih pemimpin mereka.

Tetapi dengan adanya ketentuan presidential threshold, rakyat dibatasi untuk menentukan pemimpin mereka. Pembatasan itu telah memperkecil adanya pemimpin alternatif. Dan sayangnya MK mengakui bahwa pembatasan kedaulatan rakyat melalui pemilu itu konstitusional.

Sementara Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil. Menggunakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan bagian dari ketidakadilan pemilu, dan ketidakjujuran dalam menentukan pemimpin bangsa.

Pasangan calon presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai-partai besar dan para pemodal. Dikamar kecil inilah pilihan rakyat ditentukan. Secara kasar saya menyebutkan, pintu persekongkolan oligarki dimulai dari tahap penentuan ini, sehingga melahirkan presiden boneka.

Sementara secara jelas dan gamblang, Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menentukan bahwa pasangan calon presiden dan atau wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Saya memiliki pendapat bahwa partai politik peserta pemilu itu tidak berdasarkan angka threshold, tetapi berdasarkan legalitas partai sebagai peserta pemilu.

Partai politik yang sudah berbadan hukum dari Kementrian Hukum dan HAM dan dinyatakan sebagai peserta pemilu oleh KPU setelah melakukan verifikasi faktual dan administrasi, berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Apakah itu partai lama atau partai baru, partai besar atau partai kecil, selama ia dinyatakan sebagai peserta pemilu maka ia berhak menentukan calon presiden dan wakil presiden.

Upaya untuk menafsirkan pasal 6A ayat 2 dengan angka 20 persen sangat tidak demokratis. Penggunaan suara pada pemilihan sebelumnya sebagai tiket untuk mengusulkan calon presiden diluar dari akal sehat. Bagaimana mungkin tiket yang sudah digunakan dijadikan sebagai penentuan calon presiden, sementara tiket itu sudah daluwarsa?

Secara teoritis PT itu adalah syarat keterpilihan dari calon Presiden terpilih bukan untuk syarat sebagai pencalonan presiden, Untuk hal ini sudah diatur secara jelas di UUD kita yaitu pasal 6A ayat(3),(4). Di amerika juga mengenal daerah-daerah pemilihan yang disebut Electoral College. Karena itu saya berpendapat bahwa angka Presidential Threshold itu baru dapat digunakan pada putaran kedua pilpres. Karena memang konstitusi mendesain, bahwa pemilihan Presiden itu dilaksanakan dalam dua putaran. Pada putaran pertama para kandidat yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mencalonkan kader-kader terbaiknya, entah itu partau baru, partai non Parlemen atau partai yang memiliki kursi di Parlemen, yang penting partai itu dinyatakan oleh KPU sebagai peserta pemilu. Sementara dalam putaran kedua, akan terseleksi dengan sendirinya calon presiden dengan menggunakan perolehan suara dalam putaran pertama. Disinilah esensi rakyat yang berdaulat. Dengan menggunakan PT 20 persen, daulat rakyat tidak diberi pilihan, malah disodorkan calon yang sudah ditentukan “di kamar gelap”.

Mahkamah juga selalu mengatakan bahwa presidential threshold adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Mengenai hal ini, mudah saja dibantah, bahwa tidak ada korelasi antara penguatan sistem presidential dengan angka threshold. Bahwa setelah Reformasi kita ingin merontokkan kekuasaan presiden, dari eksecutive heavy ke legislative heavy. Karena sejarah kediktatoran di masa lalu karena kekuasaan eksekutif terlalu kuat.

Begitu juga dengan sistem koalisi. Dalam sistem presidential tidak ada koalisi. Koalisi bukanlah alat untuk memperkuat sistem presidential. Karena koalisi pragmatis yang dibangun justru menyandera presiden. Supaya presiden tidak tersandera, maka dibutuhkan orang yang memiliki kecakapan dalam melakukan konsolidasi politik di parlemen. Kaki tangan eksekutif di parlemen memang penting, tetapi bukan berarti melalui jalan koalisi presidential threshold dengan angka 20 persen itu.

Apabila MK berpendapat bahwa Presidensial threshold memiliki korelasi dengan sistem presidensial sungguh sebuha ironi. Karena setelah amandemen konstitusi, presiden itu memiliki kekuasaan yang sangat kuat dari ancaman impeachment. Coba kita baca ketentuan pemakzulan presiden misalnya, melewati proses panjang dan tidak mudah. Beda dengan sistem parlementer, dimana perdana menteri dapat dijatuhkan hanya karena mosi tidak percaya Parlemen. Dalam konstitusi kita, presiden baru dapat dijatuhkan apabila melakukan tindakan pidana berat dan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pendapat DPR, Sidang MK, dan sidang Istimewa MPR. Tiga tahap ini bukanlah hal yang mudah.

Jadi mengatakan presidensialisme kuat karena koalisi, sungguh alasan yang tidak masuk akal. Apalagi dengan alasan itu kedaulatan rakyat dirampas untuk menentukan pemimpin mereka.

Mengenai Open Legal Policy

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *