Prof Azyumardi Azra & Perlindungan Kemerdekaan Pers

Prof Azyumardi Azra
Prof Azyumardi Azra

Tanpa ancaman jerat hukum itu saja pun pers sekarang sudah seperti kehabisan nafas menghadapi pemilik modal yang amat dominan mengancam keberlangsungan fungsinya. Tidak ada halangan bagi mereka ( pemilik media) kapan saja mau memberhentikan pemimpin redaksi atau penangggung jawab redaksi yang tidak menguntungkan korporasinya maupun kolaborasinya dengan pemerintah.

Bukan cerita isapan jempol, tengah malam boss terganggu, tidak enak hati, dia bisa memberhentikan penanggung jawab media sebelum ayam berkokok, esok paginya. Dari aspek ini berbanding terbalik dengan di masa Orde Baru, yang untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin redaksi bisa menelan waktu bertahun-tahun mengurusnya. Kini, pemilik modal menempati urutan pertama sebagai ancaman kemerdekaan pers. Peringkat kedua, ancaman profesi, dari kalangan wartawan sendiri. Ketiga, ancaman ormas maupun preman yang mulai mengendur.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Saya kira dibandingkan perjuangan melawan penguasa dan preman, Prof Azyumardi akan menghadapi perkara rumit dalam mengatasi ancaman profesi ini. Ancaman itu banyak bersumber karena kekurangpahaman; karena sikap mental petualang, dan mental mengejar keuntungan sendiri. Golongan terakhir ini bisa jadi berpengetahuan cukup, mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan, namun pengetahuannya dimanfaatkan untuk mencari celah demi kepentingan dan keuntungan golongannya sendiri.

Golongan ini menyebar di institusi resmi pers dan media, yang sering lancang menafsir-nafsir aturan untuk jadi “tambangnya.”. Yang dalam prakteknya mencatut atasnama rakyat untuk mengebiri pers. Saya mencatat pada tahun 2017 muncul dengan produknya berupa larangan kepada wartawan meliput aksi 212 serta menyiarkan secara langsung sidang putusan Basuki Tjahaja Purnama di Pengadilan. Padahal, setelah reformasi segala larangan yang membatasi aktifitas publik sah jika diputuskan pengadilan. Saya ingat argumentasi yang digunakan melarang, yang isinya karangan semata mencatut stabilitas. Pertimbangan itu bukan wewenang institusi pers, mau Dewan Pers, KPI apalagi organisasi. Pers. Pertimbangan seperti itu mestinya lahir dari institusi keamanan. Menggunakan alasan stabilitas institusi pers itu malah melecehkan kemampuan profesional aparat keamanan, dan mengintervensi wewenang hakim di pengadilan.

Azyumardi belum seumur jagung menjadi Ketua Dewan Pers. Namun, minggu lalu sudah mengalami sendiri dari dalam institusinya keluar fatwa yang menyerukan kepada wartawan agar hanya menyiarkan berita terkait kasus ” Polisi Tembak Polisi” dari sumber resmi, secara eksplisit sumber dari. Fatwa ini jelas dungu, justru karena informasi resmi dari kepolisian itulah yang digugat masyarakat.Ini jelas ngawur dan blunder. Tidak ada pasal dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang membenarkan fatwa itu. Malah, UU Pers itu menyediakan ancaman hukuman bagi pihak yang menghalang-halangi pers, tindak penyensoran, apalagi pembreidelan. Beruntung segera diketahui oleh Ketua Dewan Pers yang hari Sabtu membuat joint statement dengan Ketua DK- PWI. Isinya, justru mendorong seluruh wartawan melakukan investigative reporting ( liputan mendalam) untuk menyingkap fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang menjadi sorotan masyarakat saat ini.

Tampaknya ” pembuat fatwa lupa” Kapolri sendiri pun membuka akses pihak di luar institusinya untuk menyelidiki tuntas kasus “Polisi Tembak Polisi” yang mencederai citra lembaga negara itu. Lupa pada sikap Kapolri tahun lalu yang segera membatalkan Telegramnya ketika tahu itu merampas kemerdekaan pers dan berpotensi melanggar UU Pers 40/1999. Telegram Kapolri semula melarang wartawan untuk menyiarkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi dalam melaksanakan tugas. Kapolri
cepat memahami bahwa itu lebih urusan internalnya. Maka, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram ST/759/IV
/HUM.3.4.5./2021 tertangal 6 April 2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Kapolri juga meminta maaf kepada jajaran pers.

Yuyun, wartawati Elshinta yang mewancarai saya Sabtu (16/7) pagi bertanya, sebaiknya apa yang dilakukan oleh pers untuk aman melaksanakan tugas memberitakan kasus seperti ” Polisi Tembak Polisi” itu. Jawaban saya simpel saja. Kebetulan materinya menjadi siaran pers resmi Dewan Kehormatan PWI Pusat hari Sabtu itu. Agar wartawan bekerja menurut prinsip kerja jurnalistik secara profesional. Yaitu mentaati UU Pers 40/99 dan Kode Etik Jurnalistik ( KEJ). UU itu anak kandung reformasi, kehendak seluruh bangsa, yang berarti seluruh bangsa lebih-lebih aparat pengamanan harus mengawal dan menjaga itu diamalkan oleh seluruh pers Indonesia.

Di dalam UU Pers 40/1999 memang tidak ada pembatasan bagi wartawan untuk mengumpulkan informasi sebanyak- banyak dari manapun demi mencari kebenaran. Yang penting, semua informasi melalui proses verifikasi atau cek dan ricek sebelum disiarkan. Dalam Pasal 2 butir “H” di KEJ, penggunaan cara-cara tertentu pun dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Namun, wartawan diminta menghormati hak privasi;menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara; dan menyajikan berita secara berimbang.Dengan peliputan secara mendalam dan menyeluruh seperti itu wartawan dapat berperan besar membantu pihak berwajib mengungkap peristiwa yang menjadi sorotan masyarakat luas.

Mari kita doakan Prof Azyumardi bisa cepat menyelesaikan remah- remah di internalnya sendiri, sebab itu akan menjadi tolok ukur untuk menjagah kemerdekaan pers dari rongrongan berbagai pihak dan kepentingan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *