Di level bawah, iman kepada taqdir masih sering dijadikan alasan untuk menolak protokol kesehatan. Di level atas, kekuatan doa pernah dijadikan alasan untuk meremehkan kenyataan bahwa pandemi ini telah memasuki negeri ini.
Namun pada sisi lain, ketika pandemi benar-benar telah menggilas sendi-sendi ekonomi, ketika jumlah kematian di Indonesia dalam dua hari saja telah melampaui jumlah kematian di Cina selama pandemi, masih saja ada oknum pejabat yang memanfaatkan pandemi untuk menggarong bantuan sosial, masih saja ajaran agama tidak dilirik untuk mengatasi pandemi, bahkan sebagian tokoh agama di Indonesia merasa kurang dilibatkan.
Padahal mayoritas pribumi muslim telah berkorban untuk atasi pandemi ini dalam senyap. Muhammadiyah akhirnya bicara telah berkontribusi Rp. 1 Trilyun lebih tanpa selebrasi. Belum puluhan ribu relawan mereka di lapangan. Belum ratusan dokter dan nakes mereka yang syahid di garis depan.
Jangan-jangan, pandemi ini berlarut-larut karena kita hanya melirik dimensi sains, itupun tidak konsisten. Prokes hanya keras untuk kalangan yang tidak dekat secara politis. Agama dilirik juga hanya pada sisi yang sesuai syahwat politik. Sedang syariah kaffah, yang menggabungkan sains dan taubat sosial, dan di masa lalu terbukti efektif mengatasi pandemi, justru dianggap kuno, bahkan dituding hanya aspirasi ‘kadrun’.
Padahal, bila pandemi ini teratasi, namun pada saat yang sama bangsa ini terpecah, atau makin jauh dari Tuhan, maka itu justru musibah yang sesungguhnya!
Menjelang Dirgahayu Republik Indonesia ini marilah kita melakukan Taubat Multidimensi dan Hijrah Multidimensi, sehingga cita-cita kemerdekaan makin dekat, dan merdeka ini menjadi berkah dan rahmat Allah bagi seluruh rakyat Indonesia.