Kata Rumi, cinta adalah kekuatan tunggal yang mendasari dan menghubungkan semua ciptaan. Mencintai berarti menghargai orang-orang di samping kita dan menghormati kebebasan mereka, mencintai mereka apa adanya.
Ini juga berarti mengatasi ambisi untuk mengontrol orang lain, dan sebaliknya memberikan diri kita kepada orang lain. Maka, All You Need is Love kata John Lenon (1967).
Rumi juga menjadi simbol toleransi. Sebab, setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh cinta dan perdamaian serta kedamaian yang ditujukan bagi kemanusiaan. Banyak yang mengatakan, kata-katanya berasal dari Yang Ilahi, sebab diucapkan Rumi saat ia dalam estatik (esctatic) dengan Tuhan.
Barangkali, situasi zaman ketika Rumi hidup memberikan sumbangan besar pada sikapnya yang penuh cinta dan toleran. Selain, tentu, didikan dalam keluarganya.
Beberapa catatan mengisahkan, era di mana Rumi hidup (1207-1273) adalah masa yang sulit. Di satu sisi, ada kerusakan yang ditimbulkan karena Perang Salib (1095 – 1291). Dan, di sisi lain, ada invasi Mongolia dari Asia Tengah ke Asia Barat, hingga Anatolia atau Asia Kecil (kini bagian dari Turki) yang menghancurkan wilayah Muslim menjadi bagian-bagian yang berbeda, dan mengobarkan perselisihan dan hasutan di seluruh dunia Muslim.
Di masa sulit ini, Jalaluddin Rumi membuka tangan dan hatinya lebar-lebar dengan pemahaman yang luar biasa tentang toleransi dan kemurahan hati untuk merangkul semua orang. Dengan cara itu Rumi menawarkan obat untuk lingkungan kekacauan, perselisihan, dan fragmentasi yang terjadi di lingkungan dan kawasan dia hidup dan tinggal.
Maka tidak mengherankan kalau UNESCO mendeklarasikan tahun 2007 sebagai “Tahun Rumi”. UNESCO mengakui kontribusi Rumi sebagai penganjur toleransi dan rasa hormat antaragama. Rumi digambarkan sebagai “salah satu humanis, filsuf, dan penyair besar yang menjadi bagian dari kemanusiaan secara keseluruhan.”