Dollar Sepuluh Ribu #NotFound

Dollar Sepuluh Ribu
Dollar. Foto/ilustrasi: ist/ unsplash

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Hajinews.id – Musra-musra (musyawarah rakyat) untuk mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi terus berlangsung. Belum ada lagi meneruskan isu rupiah meroket dan 1 dollar menjadi sepuluh ribu rupiah dari pendukung Jokowi. Musra mungkin memandang urusan dollar versus rupiah sudah masa lalu, tidak ditemukan alias not found.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Persoalan rupiah versus dollar ini dulunya menjadi andalan pendukung utama Jokowi untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahkan rakyat dunia bahwa jika Jokowi presiden maka dollar akan melemah terhadap rupiah, dari posisi saat itu (2014) yang hampir mencapai Rp. 12.000 perdollar menjadi Rp. 10.000. Tidak tanggung-tanggung pernyataan ini dikeluarkan oleh berbagai bankers maupun ekonom dari lembaga keuangan (securities) ternama. Di mata mereka Jokowi adalah lelaki tangguh, yang bisa memulihkan ekonomi Indonesia.

Tempo dalam “Jokowi Jadi Presiden, Rupiah Bisa Tembus 10 Ribu”,
24/2/2014, misalnya, mengemukakan argumen yang dinyatakan seorang ekonom perusahaan keuangan, yakni, jika Jokowi presiden, maka stabilitas politik menguat, kepercayaan investor menguat, investasi akan masuk banyak, perekonomian membaik dan konsekuensinya rupiah terapresiasi terhadap dollar.

Beberapa ekonom itu, kemudian hari, memberi alibi bahwa dollar tidak menjadi Rp. 10.000 karena faktor konstanta atau variabel yang diasumsikan konstan dalam pembuatan model ternyata berubah. Ini adalah alibi yang gampang. Padahal, setelah krisis ekonomi 2008, seluruh manusia di dunia meminta para bankers, dan profesional terkait institusi keuangan, untuk memperbaiki moralitas. Jangan asal ngomong alias asbun. Sebab, tahun 2008 terbukti mayoritas mereka adalah pembohongan dan merugikan nasabah, tapi senang berpesta-pesta.

Dollar versus rupiah bukanlah satu-satunya indikator untuk menilai kehebatan Jokowi. Indikator ekonomi lainnya seringkali didengungkan, seperti pertumbuhan ekonomi, produk dimestik bruto (GDP), cadangan devisa, neraca perdagangan, tax ratio, ratio utang terhadap PDB, tingkat inflasi, tingkat unemployment, dlsb. GDP perkapita merupakan indikator utama. Jika pertumbuhan ekonomi (GDP) bagus, maka dikatakan ekonomi masih baik.

Sebenarnya semua indikator ekonomi tidak dicapai Jokowi. Indikator utama, pertumbuhan ekonomi, malah jauh di bawah target Jokowi rerata 7% selama periode pertama, yakni hanya rerata 5,04%. Tapi, rezim Jokowi menjelaskan hal itu terjadi karena masalah regulasi dan institusi. Bambang Bojonegoro, kepala Bappenas kala itu mengatakan, ‘Untuk melihat apa penyebab lambatnya pertumbuhan tersebut kami melakukan yang namanya diagnosa pertumbuhan, dan ternyata faktor pertama dalam ekonomi Indonesia yang menghambat pertumbuhan adalah masalah regulasi dan institusi,” (CNBC Indonesia, 9/7/19). Alasan lainnya adalah perlambatan ekonomi dunia, serta perang dagang Amerika-China.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi era Jokowi jilid dua, karena pandemi, wajar dicarikan alasannya, yakni pandemi covid itu sendiri. Namun, Jokowi tetap mengklaim keberhasilan dan keberhasilan, karena kemudian angka itu di relativisir pada negara-negara lainnya, yang pertumbuhannya buruk.

Kebanggaan Jokowi dan rezimnya saat ini adalah catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5% atau 5,4% pada kuartal ke 2 tahun ini. Bahkan, sangat bangga dengan istilah Indonesia adalah “bright spot” yang disebutkan IMF, merujuk pada Indonesia yang masih bercahaya diantara badai krisis yang melanda dunia. Bahkan, selanjutnya Jokowi yakin Indonesia akan tetap tumbuh 5% atau lebih ketika badai krisis benar-benar datang tahun depan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, yang masih diklaim baik, sebenarnya tertolong oleh naiknya harga komoditas, khususnya batu bara dan minyak goreng. Secara volume, ekspor kita pada beberapa bulan terakhir volumenya sama, namun karena harga tinggi, keuntungan terus tinggi. Ini yang disebut “Wind fall profit”. Sri Mulyani meyakini bahwa tahun ini penerima negara dari “windfall” komoditi ini sebesar Rp. 279 Triliin, naik dari Rp. 117 T tahun lalu (liputan6.com, 16/8). Uang ini menurut Sri Mulyani untuk bantalan subsidi dalam APBN kita.

Kenaikan harga yang tinggi tentunya diuntungkan oleh adanya penguatan dollar atau depresiasi pada rupiah. Dalam teori inflasi, akibat dollar vs rupiah itu, menciptakan total permintaan atas komoditi, baik ekpor maupun lokal, meningkat, sehingga menciptakan inflasi di dalam negeri, karena harga di sini juga meroket. Hal itu terjadi ketika harga minyak goreng beberapa waktu lalu tidak terkendali meroketnya. Begitu juga batubara.

Dollar yang tinggi juga mengakibatkan harga BBM dalam negeri naik. Terutama karena asumsi harga BBM dalam APBN sebelumnya jauh di bawah harga yang kini terjadi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *