Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik Advokatif

Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik Advokatif
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik Advokatif
banner 400x400

Banyak sarjana sudah memberikan legitimasi bahwa demokrasi di negara ini kalau dipotret dengan kacamata cacing maupun kacamata helikopter sebetulnya akan menunjukkan satu informasi yang saling melengkapi secara umum yaitu fakta akan problem-problem demokrasi sangat kentara masalah-masalahnya dari dalam kekuasaan. Unsur CSO menjadi bagian dari warga tentu saja bisa merefleksikan bagaimana ancaman terhadap demokrasi, partisipasi masyarakat yang semakin menyempit atau tersumbat karena adanya gurita pemerintah yang merasa tidak membutuhkan kekuatan demokrasi partisipatif dalam menentukan arah kebijakan bahkan ada kecenderungannya menyuapi kelompok-kelompok pengusaha dengan fasilitas mewah plus karpet merah. Rakyat auto-termarginalkan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dengan adanya persoalan-persoalan yang sangat kompleks yang dihadapi bangsa Indonesia (rakyat) akhir-akhir ini termasuk kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng sebagai perkara sederhana tetapi ternyata di tangan pemerintah menjadi rumit akibar tidak bisa menghadapi mafia minyak goreng. Publik menerkam minyak goreng sebagai komoditas politik adalah bagian dari jejaring kekuasaan politik, bagian dari skema oligarki partai politik yang mana telah menjadi bagian normal dari oleh bisnis kartel yang selama ini beroperasi secara ganjil.

Inilah sumbangsi politik advokasi Muhammadiyah memberikan secercah harapan bahwa demos politik berbasis Kewargaan Muhammadiyah yang sangat independen. Islam with progress (Permata, 2020) memperlihatkan dimensi kekuatan kemandirian ekonomi menjadi menjadi kekuatan, menjadi daya tahan tersendiri (self reliance) saat Muhammadiyah merespon kebijakan pemerintah. Bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan negara yang relasinya memang sangat dinamis, relasi Muhammadiyah dengan kekuatan negara adalah relasi yang tidak selalu simetris atau sangat kritis di setiap periode kekuasaan.

Faktanya, Muhammadiyah bertahan dari berbagai tipologi rezim sejak zaman kolonial Orde Lama, orde baru, pasca reformasi (1999 sd 2014) dan di zaman sekarang yang barangkali bisa disebut sebagai rezim orde oligarkis. Sebagai kekuatan CSO, Muhammadiyah diuji daya tahannya terus menerus.  Kerja masyarakat sipil kekuatan CSO masih panjang. Masih banyak agenda-agenda dan hambatan hambatan yang harus dihadapi untuk menunjukkan kemajuan di bidang demokrasi dan kesejahteraan yang ada di Indonesia Muhammadiyah sudah bekerja sangat serius, 100 tahun lebih Muhammadiyah sibuk membantu masyarakat sipil dan mudah-mudahan negara tidak melakukan hal yang sebaliknya: melemahkan kekuatan civil society.