Menurut Gus Baha, Firman Allah tidak perlu terjadi ketika kalimat “saya bisa” digunakan, tetapi berpotensi terjadi. Jadi ketika kita berbicara tentang hukuman, cukup berbicara tentang kemungkinannya, misalnya penyangkalan seseorang pada akhirnya dapat membawa serta hukuman Allah. Kita tidak perlu menilai bahwa peristiwa itu adalah hukuman Tuhan bagi mereka yang mengingkarinya. Karena hanya Allah yang tahu apakah itu kehancuran atau bukan.
“Tentu kita ngomong potensinya saja. Kamu gak usah sok suci dengan kata “bima kafartum” (keingkaranmu) itu urusannya Tuhan,” ucap Gus Baha, menjelaskan. Bisa jadi musibah yang menimpa seorang mukmin itu dinilai sebagai kafarat (penghapus dosa). “Allah mampu mengazab siapa saja. Dan kita tidak berhak menilai azab itu karena dosanya orang itu karena itu urusan Allah.”
Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ
Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain…” (QS. Al-An’am: 65)
Wallahu A’lam