Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-5): Mudik Lebaran

Mudik Lebaran
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

“Mujahid shalat dulu, Bah”, sambil mundur perlahan.

Pak Bisri mengangguk.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Mujahid meninggalkan mereka, pergi ke sudut masjid lalu shalat Sunnah Tahiyatul Masjid dua rakaat. Usai salam, Ia berdiri lagi untuk melaksanakan shalat Asar. Setelah shalat Mujahid mengambil sebuah Al-Quran, yang tersusun di rak yang digantung di dinding masjid dan memulai tilawahnya. Diam-diam sang Ayah memperhatikan dengan bangga perubahan Anak sulungnya itu.

“Alhamdulillah, dia semakin dewasa”, kata Pak Bisri dalam hati.

Dari masjid Mujahid kembali ke rumahnya. Ia berjalan melalui gardu yang letaknya di ujung perempatan jalan. Terlihat beberapa pemuda kampung teman lamanya, sedang nongkrong disana.

“Hei, kapan dateng?”, sapa salah seorang dengan nada gembira dan akrab. Mujahid mendekat, lalu menyalami mereka satu persatu. Tampak juga Irfan teman sebayanya yang kuliah di Jakarta. Irfan berambut gondrong, mengenakan t-shirt ketat dengan celana Jeans lengkap dengan rantai kecil di tali sabuknya.

“Apa kabar, ustaz?”, goda Irfan.

“Alhamdulillah”, jawab Mujahid pendek. Anak-anak itu sedang asyik bermain domino.

“Maaf, nih! Saya ke rumah dulu, ya!”, Mujahid meneruskan langkahnya.

“Tumben, biasanya dia suka nongkrong di sini kalau pulang kampung”, ucap Irfan dengan nada heran.

“Masih lelah kali, maklum baru dateng”, sahut yang lain tidak peduli.

“Tapi kalau melihat pakaiannya, nggak biasanya dia kayak ustaz begitu“, timpal Irfan.

“Sudah taubat kali”, sahut teman-temannya sambil tertawa cekikikan.

Usai berbuka puasa, Mujahid hanya duduk-duduk di serambi rumahnya. Menjelang waktu Isya, Ia mengambil kopiah lalu pergi ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih. Usai shalat Ia tidak langsung pulang, tapi Tadarusan dulu dengan beberapa jamaah masjid, sampai larut malam. Lewat tengah malam, barulah Mujahid pulang ke rumah. Hal ini terus dilakukannya beberapa malam berikutnya. Siang hari pun, Ia tidak pergi ke mana-mana. Ia membaca buku di kamarnya, atau membaca Al-Quran sampai berjam-jam.

Masuk hari kelima, Ibunya mulai bertanya-tanya dalam hati.

“Sepeda motor adikmu sudah dibersihkan, barangkali kamu mau pakai”, pancing ibunya suatu pagi.

“Lagi malas, Bu”, jawab Mujahid singkat.

Biasanya kalau pulang Ia sering keluyuran menggunakan motor itu bersama teman-temannya. Dan kalau pergi, Ia selalu minta uang untuk beli bensin dan rokok. Tapi kali ini sudah masuk hari kelima di rumah, belum sekalipun Ia meminta uang. Ia juga tidak tampak merokok lagi. Mujahid sudah cukup puas dengan makanan yang disediakan Ibunya di rumah. Beberapa kawannya yang datang mengajaknya keluar juga ditolaknya. Melihat perubahan sikap Anaknya ini, si Ibu merasa senang. Tapi Ia juga merasa kasihan.

“Mungkin dia sudah mulai sadar betapa tidak mudah sebenarnya mencari uang”, gumam si Ibu dalam hati.

Usai shalat Tarawih dan mengaji di Masjid malam itu, seperti biasanya Mujahid langsung pulang ke rumah. Sampai di tikungan jalan yang agak sepi, tiba-tiba ia mendengar suara salam dari seorang wanita.

“Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam”, sahut Mujahid datar.

Dari kegelapan muncul seorang gadis, dengan badan langsing dan rambut terurai.

“Apa kabar, Mas?”, tanya gadis itu sambil mendekat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *