Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-5): Mudik Lebaran

Mudik Lebaran
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

“Baik, Nur!”, jawab Mujahid.

Gadis itu Nur, Nur Jannah lengkapnya. Nur berharap Mujahid mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. Ternyata hal itu tidak kunjung dilakukannya. Aneh, pikir Nur dalam hati.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Kapan main ke rumah?”, tanya Nur Jannah dengan nada penuh harap.

“InsyaAllah, nanti, kapan-kapan”, jawab Mujahid kaku.

“Kok tidak seperti biasanya?”, tanya Nur tidak sabar.

“Maksudmu?”.

“Kalau pulang, Mas kan biasanya main ke rumah. Ngajak Aku jalan-jalan. Padahal Mas sudah lima hari kan, di rumah?”, suara Nur mulai terdengar kesal.

“Yah, besok Saya ke rumahmu”, jawab Mujahid pendek sambil meninggalkan Nur Jannah yang berdiri sendiri terpaku seolah tak percaya dengan apa yang dialaminya.

Keesokan harinya setelah berbuka puasa, Mujahid berkunjung ke rumah Nur Jannah. Yang membukakan pintu bukan Nur, tapi ibunya. Ibu Nur Jannah masih saudara sepupu ibunya, karena itu Mujahid mencium tangan perempuan itu.

“Silahkan masuk, Nak. Nur ada di belakang”, kata ibu

Nur yang sudah tahu hubungan Anaknya dengan Mujahid. Tak lama kemudian Nur keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa sambil merapikan rambutnya. Ia berharap Mujahid segera meraih tangannya, seperti yang biasa Ia lakukan dengan penuh canda. Namun harapan itu tak kunjung datang, membuat suasana di antara mereka jadi kikuk dan kaku. Ia terpaksa berdiri membisu di hadapan Mujahid.

“Ambillah kerudungmu”, pinta Mujahid.

“Apa maksudnya, Mas?”, tanya Nur Jannah tak mengerti. Ia mulai merasa ada yang aneh pada diri Mujahid.

“Allah melarang seorang perempuan memperlihatkan rambutnya di depan laki-laki yang bukan muhrimnya. Bagi perempuan, rambut termasuk aurat yang harus ditutupi”, jawab Mujahid tegas.

Di telinga Nur kata-kata itu terdengar seperti ceramah ustaz-ustaz di masjid. Nur tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Mujahid. Dengan gugup Ia kembali ke kamar, kemudian keluar mengenakan kerudung Ibunya yang hanya menutupi sebagian kepalanya. Bagian depan rambutnya masih menyembul keluar.

“Duduklah!”, pinta Mujahid sangat formal.

Nur duduk sambil merapikan rok mininya yang tertarik ke atas lututnya. Ia mulai merasa malu di hadapan Mujahid.

“Ibumu seorang janda, Kamu harus banyak membantu beliau! Rajin-rajinlah shalat dan membaca Al-Quran. Hidup di dunia ini ibarat orang transit aja. Sebentar sekali. Hidup di akhiratlah hidup yang kekal”, Mujahid menasihatinya.

Wajah Nur mendadak merah. Matanya mulai berkacakaca. Ia berjuang sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menetes.

“Apakah sudah ada gadis lain?”, tanya Nur memaksakan dengan nada suara yang terputus-putus.

“Maksudmu apa, Dik?”, tanya Mujahid.

“Laki-laki kan biasa… Kalau sudah ada gadis lain, terus cari gara-gara, cari alasan!”, jawab Nur ketus.

“Yah, memang… Aku sedang jatuh cinta pada sesuatu, melebihi cintaku pada segalanya”, kata Mujahid sambil mendongak ke atas sembari menyatukan kedua tangannya. Mendengar kalimat ini dari bibir kekasihnya, Nur terkesiap. Rasa cemburunya membara. Menyadari gawatnya keadaan itu, Mujahid buru-buru menjelaskan maksudnya agar tidak salah dimengerti.

“Aku mencintai sesuatu yang abadi, yang berada di atas sana, yang memberi Kita kehidupan, kemudian mengambilnya dan membangkitkan Kita kembali”.

Nur yang semula tegang dan emosional, kini mulai terkulai lemas. Mulanya ada perasaan kecewa campur khawatir kalau-kalau Mujahid akan meninggalkannya. Tapi Ia tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Ia hanya diam sembari berharap Mujahid akan berbicara lagi.

“Kalau Kamu ingin tetap menjadi temanku, Kamu harus mencintai Allah lebih dari cinta pada dirimu sendiri. Taatilah semua perintah-Nya dan jauhilah semua larangannya!”

(Bersambung…)