Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-18): Keputusan Menikah

Keputusan Menikah
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

“Bapak saja yang menyampaikannya”, katanya dengan menyenggol tangan suaminya.

“Baiklah”, jawab Pak Bisri.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Begini Bu, menurut Kanjeng Nabi Muhammad, ada tiga hal yang harus disegerakan; Pertama, orang yang meninggal, harus segera dimakamkan. Kedua, kalau berhutang, harus segera dibayar. Dan yang ketiga, kalau punya anak yang sudah dewasa harus segera dinikahkan”. Bu Syukri langsung tersenyum.

Tapi walaupun Ia jauh sebelumnya sudah menduga, tapi tetap saja Ia merasa perlu berbasa-basi.

“Ya, gimana baiknya sajalah. Saya ini orang bodoh. Apalagi si Nur sudah tidak punya ayah sejak beberapa tahun lalu. Jadi Saya manut aja”, jawab Bu Syukri diplomatis.

la sudah menangkap maksud kedatangan kakak iparnya itu.

“Anak-anak Kita sudah dewasa, sudah saling mengenal. Kita sebagai orangtua rasanya berdosa kalau terus menahan-nahannya”, imbuh Bu Bisri.

Nur Jannah yang menguping dari balik jendela kamar tidurnya, tersenyum lega mendengar pembicaraan Mereka. Ia bergerak cepat ke cermin, merapikan kerudungnya dengan wajah cerah. Ia lalu melangkah pelan ke dapur, agar jangan ketahuan mereka yang sedang berunding di depan.

“Nur, mana minumnya? Kok lama bener!”, terdengar suara Bu Syukri memanggilnya.

“Ya, Bu!”, jawab Nur sembari membawa baki berisi tiga cangkir teh.

Setelah menyuguhkannya, Ia kembali ke belakang sambil pura-pura tidak tahu pembicaraan mereka.

“Kapan bagusnya pernikahan dilaksanakan?”, tanya Bu Syukri.

“Lebih cepat lebih baik, Bu”, jawab Pak Bisri

“Masalah hari yang tepat, Kami serahkan ke Bapak saja. Saya akan manut saja”, katanya

“Kalau begitu saya akan beri jawaban dalam waktu tidak lebih dari tiga hari”, jawab Pak Bisri. Setelah pembicaraan dirasa cukup, Pak Bisri dan istrinya berpamitan.

Sebulan kemudian, pada hari yang ditentukan, dengan mengenakan kemeja putih dan jas hitam membalut badannya yang tegap berotot, Mujahid tampak sangat gagah. Ia mengenakan sarung plekat dengan kopiah hitam di kepala. Ia diapit oleh ayah dan seorang saudara laki-laki dari pihak ibunya. Mereka berjalan mantap menuju rumah calon istrinya. Di lehernya tergantung kalung yang dibuat dari rangkaian bunga melati. Lima orang penabuh rebana terus-menerus mengiringi perjalanannya. Beberapa teman dekat dan tetangganya ikut mengantarnya. Sekali-sekali mereka mengeluarkan kalimat-kalimat yang menggoda sang mempelai.

“Hid…! Jangan lupa obat kuat yang saya berikan dua hari lalu, ya!”, kata Ikhsan yang masih lajang.

“Awas! Teori yang saya ajarkan jangan sampai tidak diamalkan…!”, ancam Hasan yang baru tiga bulan menikah. Mendengar godaan-godaan itu, Mujahid hanya tersipu malu, sambil terus melangkah.

Sampai di depan gerbang rumah calon mempelai wanita, rombongan ini dIsambut dengan hujan beras kuning. Ibu-ibu yang berkumpul di depan janur kuning yang melengkung di depan rumah itu, terus-menerus melemparkan beras kuning yang ada di genggaman mereka. Sementara anak-anak dan para tetangganya juga menyaksikan kedatangan mempelai pria dengan soraksorai gembira. Mempelai wanita yang duduk di pelaminan diminta berdiri untuk menyambutnya. Nur kelihatan anggun dengan kebaya panjang putih dan bawahan kain batik. Rambutnya dibungkus rapat dengan kerudung yang dihiasi untaian bunga melati.

Mujahid dipersilakan masuk dan duduk di antara para tokoh masyarakat dan penghulu. Sesuai tuntunan Syariat, mempelai pria diminta membaca ijab-kabul dengan wali hakim. Setelah usai, mempelai perempuan menyongsong suaminya, mengambil tangannya lalu menciumnya. Mereka berdua lalu dituntun menuju pelaminan. Para hadirin memberikan salam dan ucapan selamat secara bergantian kepada kedua mempelai. Sementara yang lainnya menikmati hidangan yang disediakan. Suara musik dangdut dari pengeras suara terus-menerus mengalun menghibur para undangan.

(Bersambung….)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *