Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-19): Merantau Ke Bali

Merantau Ke Bali
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

“Dicoba dulu, Nak! Lama-lama pasti juga bisa”, jawab si Ibu meyakinkan.

“Tapi kan butuh waktu yang lama, Bu. Sementara…”, kata-kata Mujahid terputus.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Apa Kamu sudah bicara dengan Istrimu?”.

“Nur bilang, kalau Ibu setuju, Dia juga akan setuju”. Bu Bisri berpikir sebentar.

“Kalau memang begitu keinginan kalian, Ibu tidak bisa mencegah”.

Dua hari kemudian Mujahid berangkat meninggalkan Lamongan menuju Surabaya. Dari Surabaya Ia naik bus menuju Banyuwangi. Di Pelabuhan Ketapang Ia berhenti, lalu menyebrang ke Pelabuhan Gilimanuk. Penyebrangan memerlukan waktu hanya sekitar lima puluh menit. Dari Gilimanuk Mujahid menumpang bus menuju Denpasar yang memakan waktu sekitar empat jam.

Hafiz kaget melihat wajah adik sepupunya yang muncul tiba-tiba di depan rumahnya.

“Kenapa Kamu tidak kirim kabar kalau mau datang? Abang kan bisa jemput di terminal”, kata Hafiz sambil merangkul tubuh Mujahid.

“Maaf Mas. Saya tidak ingin merepotkan. Selain itu,, rencana ke sini juga mendadak”. kata Mujahid.

“Ayo silakan masuk! Mau teh atau kopi?”, tanya Hafiz.

“Teh saja, Bang!”.

Hafiz masuk dan keluar lagi tidak lama kemudian dengan segelas teh.

“Saya dengar Abang jualan di sini,” kata Mujahid

“Abang jualan soto. Lumayan hasilnya. Cukup untuk makan dan biaya sekolah anak-anak,” jawabnya.

“Jadi Abang sendirian di sini?”.

“Setiap tiga bulan Abang pulang ke Lamongan. Biaya hidup di sini mahal. Jadi anak-anak lebih baik tinggal di kampung”, jawab Hafiz.

“Ngomong-ngomong Kamu kok datang sendiri? Kenapa istrimu tidak dibawa sekalian?”.

“Begini, Bang. Kedatangan Saya sebetulnya untuk menjajaki kemungkinan mengadu nasib di sini”.

“O… Saya pikir mau bulan madu”, kata Hafiz sambil tertawa menggoda.

“Kalau Kamu mau, Kamu bisa jualan seperti Abang. Nanti Abang ajari. Masih banyak daerah kosong yang bisa dijadikan tempat buat kamu jualan”, kata Hafiz antusias.

“Terima kasih atas kebaikan Abang. Saya bisa bahasa Inggris dan bahasa Arab. Apa mungkin mencari pekerjaan yang membutuhkan kemampuan seperti itu di sini?”, tanya Mujahid.

“Hotel dan tempat hiburan banyak membutuhkan orang-orang yang punya keahlian bahasa. Tapi apa Kamu bisa bekerja di tempat seperti itu? Banyak hal haram dan dilarang agama dipraktikkan di situ”, jawab Hafiz dengan nada tidak yakin Mujahid diam sejenak sambil menoleh ke Kiri dan ke Kanan mencari ide.

“Bagaimana kalau menjadi guide?”, tanya Mujahid lagi.

“Di sini jarang sekali ada turis Timur Tengah, kebanyakan turis dari negara-negara Barat. Kalau Kamu bisa hidup seperti mereka, maka imbalannya akan besar. Tapi kalau tidak, yah sulit mendapatkan tamu”, katanya.

“Saya hanya mau pekerjaan yang membawa Kita selamat dunia dan akhirat”, tegas Mujahid. Diskusi terhenti, karena menemui jalan buntu.

“Kalau punya sedikit modal, sebetulnya ada pekerjaan yang bagus”, kata Hafiz memberikan jalan keluar.

“Pekerjaan apa itu?”.

“Di Denpasar ini harga tanah sangat mahal, tapi kalau sewa tanah kosong cukup murah. Orang biasanya menyewa tanah sepuluh sampai dua puluh tahun. Lalu berbagai usaha bIsa dilakukan di tempat itu. Seperti tempat kos yang kini abang tempati. Tanah ini disewa dari penduduk setempat, lalu dibangun dua puluh kamar. Setiap bulannya sewa perkamar tidak kurang dari lima ratus ribu. Berarti dua puluh kamar tinggal mengalikan
saja”, jelas Hafiz.

“Wah, kalau yang ini boleh, dan kita bisa buka wartel sekalian”, komentar Mujahid.

“Ya itu ide yang bagus”, jawab Hafiz.

“Tapi sekarang Kamu istirahatlah dulu. Nanti sore Abang ajak jalan-jalan sambil lihat-lihat daerah yang potensial”.

Keesokan harinya, Mujahid diantar melihat beberapa lokasi yang belum terlalu mahal, tapi bagus untuk tempat usaha. Dua hari kemudian Ia pulang. la menceritakan kepada sang Ibu, idenya untuk membuka usaha di Denpasar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *